HUKOEM PIDANA
A. Pengertian Hukoem Pidana
Sebelum membahas lebih jauh mengenai unsur-unsur tindak
pidana dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, penulis akan membahas
terlebih dahulu tentang apa Hukoem pidana itu sebenarnya, dan mengapa seseorang
yang melakukan tindak pidana harus dipertanggungjawabkan secara pidana?tentunya
penulis memulainya dengan membahas istilah dan pengertian Hukoem pidana. Diharapkan pembahasan ini akan membuat
para pembaca memahami betul tentang pemaknaan istilah Hukoem pidana, sehingga memudahkan pembaca untuk
dapat memahami dan membedakan unsur-unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana.
Pada
dasarnya, kehadiran Hukoem pidana di
tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun
kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran
akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam
masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian
sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup
kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga
terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau
keadaan psikis.
Istilah Hukoem pidana merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda strafrecht Straf berarti pidana,
dan recht berarti Hukoem .
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah Hukoem pidana itu dipergunakan sejak pendudukan
Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa
Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah Hukoem perdata untuk pengertian burgerlijkrecht atau privaatrecht dari
bahasa Belanda.
Pengertian Hukoem pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana Hukoem
, diantaranya adalah Soedartoyang mengartikan bahwa:
Hukoem
pidana memuat aturan-aturan Hukoem yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan
yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
Selanjunya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan
pengertian Hukoem pidana, maka tidak
terlepas dari KUHP yang memuat dua hal pokok, yakni:
1) Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang
diancam pidana, artinya KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang
memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara
menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak Hukoem perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan
siapa yang dapat dipidana.
2) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan
diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Dalam Hukoem pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa
pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.
Satochid Kartanegara, mengemukakan:
Bahwa
Hukoem an pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari Hukoem positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu
disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara
untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.
Selanjutnya Prof. Moelyatno, S.Hmengartikan bahwa Hukoem pidanaadalah bagian dari keseluruhan Hukoem yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yangtelah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu
dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Selanjutnya Moeljatno menjelaskan dari pengertian Hukoem pidana tersebut di atas maka yang disebut
dalam ke-1) adalah mengenal “perbuatan pidana” (criminal act). Sedang
yang disebut dalam ke-2) adalah mengenai “pertanggungjawaban Hukoem pidana” (criminal liability atau criminal
responsibility). Yang disebut dalam ke-1) danke-2) merupakan “Hukoem pidana materil” (substantive criminal law),
oleh karena mengenai isi Hukoem pidana
sendiri. Yang disebut dalam ke-3) adalah mengenai bagaimana caranya atau
prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangka
melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu Hukoem acara pidana (criminal procedure).
Lazimnya yang disebut dengan Hukoem pidana saja adalah Hukoem pidana materil.
Menurut Profesor Simons, Hukoem pidana itu dapat dibagi menjadi Hukoem pidana dalam arti objektif atau strafrecht
in objective zin dan Hukoem pidana dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective
zin.
Hukoem pidana
dalam arti objektif adalah Hukoem pidana yang berlaku, atau yang juga disebut
sebagai Hukoem positif atau ius
poenale.Hukoem Pidana
dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan sebagai:
“het geheel van varboden en geboden , aan
welker overtrading door de Staat of eenige andere openbare rechtsgemeenschap
voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verbonden is, van de
voorschriften, doorwelke de voorwarden voor dit rechtsgevolg worden aangewezen,
en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en toegepast”.
Yang
artinya:
“Keseluruhan
dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh
Negara atau oleh suatu masyarakat Hukoem umum lainnya telah dikaitkan dengan
suatupenderitaan yang bersifat khusus berupa suatu Hukoem an, dan keseluruhan
dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat Hukoem itu telah diatur serta keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjaTuhan dan pelaksanaan dari Hukoem
annya itu sendiri”.
Hukoem pidana
dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk mengHukoem
, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah
ditentukan oleh Hukoem pidana dalam arti
objektif;
b. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan Hukoem .
Hukoem pidana
dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas,
juga disebut sebagai ius puniendi.
Tujuan Asas Legalitas
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa
alasan tertentu. Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:12
a. Memperkuat adanya kepastian Hukoem ;
b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan deterent function dari
sanksi pidana;
d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukoem Pidana, memberikan penjelasan mengenai
konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:13
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang
sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan
menjadi tindak pidana.
2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum
terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh
berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
a. Menjamin kebebasan individu terhadap
kesewenang-wenangan penguasa.
b. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem
Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi
jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui
bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.
Hukoem Pidana
Materil dan Hukoem Pidana Formil
Hukoem pidana
berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas Hukoem pidana materil dan Hukoem pidana formil.Tirtamidjaja menjelaskan Hukoem pidana materil dan Hukoem pidana formil sebagai berikut :9
a. Hukoem pidana
materil adalah kumpulan aturan Hukoem yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan
syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat diHukoem , menunjukkan orang
dapat diHukoem dan dapat menetapkan Hukoem
an atas pelanggaran pidana.
b. Hukoem pidana
formil adalah kumpulan aturan Hukoem yang mengatur cara mempertahankan Hukoem pidana materil terhadap pelanggaran yang
dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana Hukoem
pidana materil diwujudkan sehingga
memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
Doktrin yang juga membedakan Hukoem pidana materil dan Hukoem pidana formil, dikemukakan oleh J.M. Van
Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut:10
Hukoem
pidana materil terdiri atas tindak
pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukoem
pidana formil mengatur cara bagaimana
acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan itu.
A. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab
Undang-undang Hukoem Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang Hukoem pidana sering
mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu
undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau
tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu Hukoem , sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa Hukoem pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian
yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan Hukoem pidana, sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Para pakar asing Hukoem Pidana menggunakan istiah Tindak Pidana atau
Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:
1. STRAFBAAR FEIT adalah
peristiwa pidana;
2. STRAFBARE HANDLUNG diterjemahkan
dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukoem Pidana Jerman; dan
3. CRIMINAL ACT diterjemahkan
dengan istilah Perbuatan Kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit,
terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit.Yang masng-masing memiliki
arti:
Ø Straf diartikan sebagai pidana
dan Hukoem ,
Ø Baar diartikan sbagai dapat dan
boleh,
Ø Feit diartikan sebagai tindak,
peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah
peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan
delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan Hukoem an (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukoem Pidana memberikan defenisi mengenai delik,
yakni:1
Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang
terlarang dan diancam dengan Hukoem an oleh undang-undang (pidana).”
Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai
berikut:2
Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah
“suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”
Sementara Jonkers merumuskan bahwa:3
Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana
yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan Hukoem (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
Strafbaarfeitjuga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip
dari buku karya Lamintang, sebagai :4
Suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib Hukoem ) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjaTuhan Hukoem an terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya
tertib Hukoem .
Adapun Simons masih dalam buku yang sama merumuskan strafbaarfeitadalah
:5
Suatu
tindakan melanggar Hukoem yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan
yang dapat diHukoem .
Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di
sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana Hukoem diartikan secara berlain-lainan sehingga
otomatis pengertiannya berbeda.Agar lebih jelasnya,penulis mengelompokkan dalam
5 kelompok istilah yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana Hukoem sebagai berikut:
Ke-1 : “Peristiwa pidana”
digunakan oleh Andi Zainal Abidin Farid (1962: 32), Rusli Efendi (1981: 46),
Utrecht (Sianturi 1986: 206) dan lain-lainya;
Ke-2 : “Perbuatan pidana “
digunakan oleh Moejanto(1983 : 54) dan lain-lain;
Ke-3 : “Perbuatan yang boleh di Hukoem
” digunakan oleh H.J.Van Schravendijk(Sianturi 1986 :206)dan lain-lain;
Ke-4 : “Tindak pidana” digunakan
oleh Wirjono Projodikoro (1986 : 55), Soesilo (1979 :26) dan S.R Sianturi (1986
: 204) dan lain-lain;
Ke-5 : “Delik”digunakan oleh
Andi Zainal Abidin Farid (1981 : 146 dan Satochid Karta Negara (tanpa tahun :
74) dan lain-lain.
Sarjana Hukoem tersebut di atas, menggunakan istilah masing-masing
dengan disertai alasan dan pertimbangannya masing-masing. Moelijanto beralasan
bahwa digunakannya istilah ”perbuatan pidana”karena kata ”perbuatan” lazim
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan cabul,kata
perbuatan jahat,dan kata perbuatan melawan Hukoem .6 Lebih jauh
Moeljantomenegaskan bahwa perbuatan menunjuk ke dalam yang melakukan dan kepada
akibatnya,dan kata perbuatan berarti dibuat oleh seseorang yang dapat dipidana
adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari starfbaarfeit.7
Lebih jelasnya Moeljanto menyatakan sebagai berikut :
1. Kalau utrecht,sudah lazim memakai istilah Hukoem
, maka Hukoem lalu berarti: berecht,
diadili yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan starf,
dipidana karena perkara-perkara perdata pun diberech, diadili maka
saya memilih untuk terjemahan strafbaar adalah istilah pidana
sebagai singkatan dari”yang dapat dipidana”.
2. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang
menunjuk lain pada yang melakukan maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan
peristiwa tidak menunjuk bahwa yang melakukannya adalah ”handling” atau ”gedraging” seseorang
mungkin atau mungkin juga hewan atau alam dan perkataan tindak berarti langkah
baru dan tindak tanduk atau tingkah laku.
H.J Van Schravendiik mengartikannya delik sebagai
perbuatan yang boleh di Hukoem ,sedangkan Utrecht lebih menganjurkan pemakaian
istilah peristiwa pidana,karena istilah pidana menurut beliau meliputi
perbuatan (andelen) atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan atau met
doen,negatif/maupun akibatnya).9
S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana
jelasnya Sianturi memberikan perumusan sebagai berikut:10
Tindak
pidana adalah sebagai suatu tindakan pada,tempat,waktu,dan keadaan tertentu
yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
bersifat melawan Hukoem ,serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang
bertanggung jawab).
Sianturiberpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan
singkatan dari kata ”tindakan” artinya pada orang
yang melakukan tindakan dinamakan sebagai
penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang,akan tetapi dalam banyak hal
suatu tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya
menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi
menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan
menurut golongan dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai dan lain-lain
sebagainya, jadi status/klasifikasi seorang penindak menurut Sianturiharuslah
dicantumkan unsur”barang siapa”.11
Penggunaan terhadap istilah “tindak pidana” ini
dikomentari oleh Moeljatno sebagai berikut:12
Meskipun kata tindak lebih pendek dari pada kata
”perbuatan” tapi ”tindak”tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti
perbuatan,tapi hanya menyatakan keadaan konkrit sebagaimana halnya dengan
peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan,tingkah
laku,gerak-gerik,sikap jasmani seseorang,lebih dikenal dalam tindak
tanduk,tindakan dan bertindak dan belakangan di pakai ”ditindak” oleh karena
itu tindak sebagai kata tidak begitu di kenal,maka perundang-undangan yang
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun
dalam penjelasannya hampir selalu di pakai kata ”perbuatan”.
Andi Zainal Abidin mengemukakan pada hakikatnya istilah
yang paling tepat adalah ”delik” yang berasal dari bahasa latin ”delictum
delicta” karena:13
1. Bersifat universal, semua
orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat ekonomis karena singkat;
3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti ”peristiwa
pidana”, ”perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi
pembuatnya); dan
4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik
yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut Hukoem pidana ekonomi Indonesia.
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh
sarjana-sarjana tersebut sebagai terjemahan delik (Strafbaarfeit)
menurut penulis tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan
asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang
wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono
Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukoem Acara Pidana Indonesia cetakan ke V 1962,
sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah
”tindak pidana”.
Demikian halnya dengan Satocid Kartanegara dimana dalam
rangkaian kuliah beliau di Universitas Indonesia dan AHM/PTHM, menganjurkan
istilah tindak pidana karena istilah tindak (tindakan) mencakup pengertian
melakukan atau berbuat, (active handting) dan/atau tidak melakukan,
tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passive handeling).14
Istilah perbuatan menurut Satochid adalah berarti
melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian
mengakibatkan/ tidak melakukan, istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada
hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana staarbaarfeit yang
setelah membahas uraian tentang pengertian delik, pada akhirnya pilihannya
jatuh pada istilah delik.
Bukan saja Satocid dan Wirjono yang menerjemahkan delik (Starbaarfeit)
seperti tersebut di atas, tetapi Andi Zainal Abidin pula selama kurang lebih
dua puluh mendalami makna Starbaarfeit. Setelah membahas uraian
tentang pengertian delik,yang pada akhirnya pilihannya jatuh pada istilah
delik.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli Hukoem pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana
adalah:15
“Perbuatan
yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan Hukoem , larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar
larangan tersebut”
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini
Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan
lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
“Bahwa
perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan Hukoem pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”
2. Adapun perumusan tersebut
yang mengandung kalimat “aturan Hukoem pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan Hukoem
di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan Hukoem yang tertulis maupun Hukoem
yang tidak tertulis. Bambang Poernomo
juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan
hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait
tindak pidana yaitu :16
Definisi
teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata Hukoem ), yang diadakan
karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat
mempertahankan tata Hukoem dan
menyelamatkan kesejahteraan umum.
Definisi
yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang
ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten);
tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang
merupakan bagian dari suatu peristiwa.
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa
tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:17
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan Hukoem dari suatu tindakan;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana; dan
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana,
perbuatan pidana, maupun peristiwa Hukoem dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan
bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas
apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan
untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar
kalangan ahli Hukoem belum jelas dan
terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan
bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga
ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan
pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui
putusan hakim agar dijatuhi pidana.
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang
pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana
atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya,
tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu
mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle
of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu), sebagaimana telah di bahas pada Sub-Bab
sebelumnya.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu
kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan.
Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa
kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah
bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld)
yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang
tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan Hukoem sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia
harus bertanggungjawabkan atas segala bentuk tindak pidana yang telah
dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar telah
terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukannya, maka dengan begitu dapat
dijatuhi Hukoem an pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.
B. Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam membahas Hukoem pidana, nantinya akan ditemukan beragam tindak
pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat
dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yakni sebagai berikut:
a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatanyang
dimuat dalam buku II dan pelanggaranyang dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah
jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui
dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana
penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di
dominasi dengan ancaman pidana penjara.
Kriteria
lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan
delik-delik yang melanggar kepentingan Hukoem dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret,
sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.
Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan
pelanggaran sebagai berikut :
1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan
yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan
delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia,
maka di pandang tidak perlu dituntut.
2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran
tidak dipidana.
3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah
umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak
pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan
itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil
tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian
digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya
dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat
yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya
tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang
dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang
tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan,
tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak
menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan
pembunuhan. Perihal pembedaan ini, akan di bahas lebih lanjut pada Sub-Bab
selanjutnya.
c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak
pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja(culpa).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
mengandung culpa.
d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara
tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana
komisi dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak
pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang
perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang
untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang
berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat
baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materil.
Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana
aktif.
Tindak
pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif
yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur
perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif
yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana
positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak
pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak
berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.
e) Berdasarkan saat dan jangka waktu
terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi
seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak
pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih
berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten.
Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu
keadaan yang terlarang.
f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara
tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak
pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai
kodifikasi Hukoem pidana materil (Buku
II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana
yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.Dalam hal ini sebagaimana mata kuliah pada
umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah delik-delik di dalam KHUP dan
delik-delik di luar KUHP.
g) Dilihat dari sudut subjeknya, dapat dibedakan antara
tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan
untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu
dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan
yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda
(pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduandalam
hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak
pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak
pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak
disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan
adalah tindak pidana yangdapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih
dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban
atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal
tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang
berhak.
i)
Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana
bentukpokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu
yang dibentuk menjadi:
1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau
dapat juga disebut dengan bentuk standar;
2) Dalam bentuk yang diperberat; dan
3) Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara
lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada
bentuk yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur
bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau
pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat
memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor
pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana
terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat
atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
j) Berdasarkan kepentingan Hukoem yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
terbatas macamnya, sangat tergantungpada kepentingan Hukoem yang dilindungi dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
Sistematika
pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan Hukoem
yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan
Hukoem yang di lindungi ini maka dapat
disebutkan misalnya dalam Buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan Hukoem terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan
kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan Hukoem
bagi kelancaran tugas-tugas bagi
penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP), untuk
melindungi kepentingan Hukoem terhadap
hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP),
Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan
seterusnya.
k) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk
mejadi suatu larangan,dibedakan antara tindak pidana tunggal dan
tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang
dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana
dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian
terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara
itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat
dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
A. Ada Perbuatan (Mencocoki Rumusan Delik)
Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit),
yakni:1
1) Perbuatan (feit) =terjadinya kejahatan (delik).
Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang
dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka
tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu
dikemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (feit) = perbuatan yang didakwakan. Ini
terlalu sempit. Contoh: seseorang di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan
yang menyebabkan kematian, kemudian ternyata ia sengaja melakukan pembunuhan,
maka berarti masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan
pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan kematian”.
Vas tidak menerima pengertian perbuatan (faith) dalam arti yang kedua ini.
3) Perbuatan (feit) = perbuatan material,
jadiperbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat.
Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian
terdahulu dapat dihindari.
Pada prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani
tanggungjawab pidana bukan hanya karena ia telah melakukan suatu perilaku
lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh
seorang penuntut umum. Dalam ilmu Hukoem pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal
sebagai actus reus, Dengan kata lain, actus
reus adalah elemen luar (eksternal element). 2
Dalam kepustakaan Hukoem actus reus ini
sering digunakan padanankata “conduct” untuk perilaku yang menyimpang
menurut kaca mata Hukoem pidana. Atau
dengan kata lain, actus reusdipadankan dengan kata conduct. Sementara
itu, dalam kepustakaan Hukoem dikatakan
bahwa actus reusterdiri atas “act and omission”atau“commission
and omission”, di mana dalamkedua frasa tersebut, act sama
dengan commission. Oleh karena pengertian actus reusbukan
mencakup act atau commission saja, tetapi
juga omission, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat lebih tepat
untuk memberikan padanan kata actus reus dengan kata perilaku. Perilakumenurutnya
merupakan padanan kata dari dari kata conduct dalam bahasa
inggris yang banyak dipakai untuk merujuk kepada perilaku yang melanggar
ketentuan pidana. Selanjutnya actus reusseyogianya tidak dipadankan
dengan kata “perbuatan” atau “tindakan” karena kata tersebut merupakan padanan
dari kata actdalam bahasa inggris.
Commissionadalah melakukan perbuatan
tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana, dan omission adalahtidak
melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk
dilakukan. “Perilaku” lebih luas maknanya dari “perbuatan” atau “tindakan”,
yang tidak lain sama artinya dengan actatau commission. Pengertianperilaku
bukan hanya terbatas pada makna “perbuatan untuk melakukan sesuatu” tetapi juga
termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu.Dengan keterangan
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa “tidak melakukan perbuatan tertentu
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana” tidak dapat dikatakan “perbuatan” atau
“tindakan” atau “act”atau “commission”. Namun
demkian tetap termasuk perilaku melanggar Hukoem .
Baik commission maupunomissiontersebut
tentulah harus tertuang sebagai unsur dalam sebuah rumusan pasal agar tidak
terjadi benturan dengan asas legalitas.
B. Ada Sifat Melawan Hukoem (Wederrechtelijk)
Dalam ilmu Hukoem pidana, dikenal beberapa pengertian melawan Hukoem
(wederrechtelijk), yaitu:3
1. Menurut Simons, melawan Hukoem diartikan sebagai “bertentangan dengan Hukoem ”,
bukan saja terkait dengan hak orang lain (Hukoem subjektif), melainkan juga mencakup Hukoem Perdata atau Hukoem Administrasi Negara.
2. Menurut Noyon, melawan Hukoem artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (Hukoem
subjektif).
3. Menurut Hoge Raad dengan keputusannya tanggal 18
Desember 1911 W 9263, melawan Hukoem artinya “tanpa wenang” atau “tanpa hak”.
4. Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukoem
Pidana BPHN atau BABINKUMNAS dalam
Rancangan KUHPN memberikan definisi “bertentangan dengan Hukoem ” artinya,
bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh Hukoem atau anggapan masyarakat, atau yang
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut
dilakukan.
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh peraturan Hukoem pidana itu harus
bersifat melawan Hukoem .adapun sifat perbuatan melawan Hukoem suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1) Sifat melawan Hukoem formil (Formale wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan
bersifat melawan Hukoem adalah perbuatan
yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian
yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan Hukoem berarti melawan undang-undang, sebab Hukoem adalah undang-undang.
2) Sifat melawan Hukoem materil (materielewederrechtelijk).
Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang
memenuhi rumusan undang-undangitu bersifat melawan Hukoem .bagi pendapat ini
yang dinamakan Hukoem itu bukan hanya
undang-undang saja (Hukoem yang
tertulis), tetapi juga meliputi Hukoem yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau
kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Perbedaan yang pokok antara kedua pendapat tersebut di
atas,
adalah:
1) Pendapat yang formil hanya mengakui adanya
pengecualian (peniadaan) sifat melawan Hukoem dari perbuatan yang terdapat dalam
undang-undang (Hukoem tertulis).
Seperti:
Ø Pasal 48 KUHP (daya paksa/overmacht);
Ø Pasal 49 ayat (1) KUHP
(bela paksa/noodweer);
Ø Pasal 50 KUHP (melaksanakan
ketentuan undang-undang;
Ø Pasal 51 ayat (1) KUHP
(perintah jabatan yang sah).
Sedangkan pendapat material, mengakui adanya pengecualian
(peniadaan) tersebut, selain daripada yang terdapat dalam undang-undang (Hukoem
tertulis) juga terdapat dalam Hukoem yang tidak tertulis.
2) Perbedaan selanjutnya, menurut pendapat yang formil
sifat melawan Hukoem tidak selalu
menjadi unsur tindak pidana, hanya apabila dinyatakan dengan tegas dalam
rumusan tindak pidana barulah menjadi unsur tindak pidana. Sedangkan menurut
pendapat yang material sifat melawan Hukoem adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana,
juga bagi tindak pidana yang dalam rumusannya tidak dinyatakan dengan tegas.
Selain pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan
pendapatnya terkait sifat melawan Hukoem (wederrechtelijk) ini. Nico
Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukoem Pidana di Undip Semarang pada tanggal 6 sampai
dengan 12 agustus 1987 mengatakan bahwa dalam dogmatik Hukoem pidana istilah sifat melawan Hukoem itu mempunyai empat makna yang berbeda, yakni:
1. Sifat melawan Hukoem formil
Sifat
melawan Hukoem formil berarti semua
bagian dari rumusan delik telah terpenuhi, yang terjadi karena melanggar
ketentuan pidana menurut undang-undang.Sifat melawan Hukoem formil ini merupakan syarat untuk dapat
dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas. Apakah rumusan delik telah
terpenuhi, jadi apakah ada sifat melawan Hukoem formil, tidak begitu saja dapat disimpulkan
dari bunyi rumusan delik .ini harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab
pertanyaan apakah suatu bagian tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan
arti yang tepat dari bagian tersebut.
2. Sifat melawan Hukoem materil
Sifat melawan Hukoem materil berarti melanggar atau mebahayakan
kepentingan Hukoem yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.Pada
delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material, sifat
melawan Hukoem material dimasukkan dalam
rumusan delik sendiri dan karena itu bukti dari sifat melawan Hukoem material termasuk dalam bukti dari rumusan
delik.Pada delik-delik ini, pengertian sifat melawan Hukoem formil dan sifat melawan Hukoem material itu pada umumnya menyatu.Misalnya
dalam rumusan delik pembunuhan, hanya dipenuhi kalau kepentingan Hukoem di belakangnya yaitu nyawa dilanggar.Sedangkan
dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan secara formil sifat
melawan Hukoem material itu tidak
dimasukkan dalam delik sendiri, jadi tidak perlu dibuktikan.
3. Sifat melawan Hukoem umum
Sifat
melawan Hukoem umum (sifat melawan Hukoem
sebagai bagian luar undang-undang) yang
berarti bertentangan dengan Hukoem objektif. Hal ini pada umumnya terjadi jika
perbuatannya bersifat melawan Hukoem formil dan tidak ada alasan pembenar. Alasan
pembenar ini mungkin ada, baik pada delik materil maupun pada deik formil. Pada
delik formil contohnya; seseorang diserang secara melawan Hukoem dan satu-satunya jalan adalah membunuh
penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus melanggar rumusan
delik Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perbuatannya dengan mengingat semua keadaan,
tidak bersifat melawan Hukoem .Pada delik formil, contohnya; seorang pengendara
mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu dilakukannya atas
perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan delik, namun
perbuatannya tidak bersifat melawan Hukoem .
4. Sifat melawan Hukoem khusus
Sifat melawan Hukoem khusus (sifat melawan Hukoem sebagai bagian dari undang-undang) memiliki
arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat melawan Hukoem menjadi bagian dari undang-undang dan dapat
dinamakan suatu fase dari sifat melawan Hukoem umum. Contoh;
Ø Pasal 362 KUHP (pencurian)
pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan Hukoem ”.
Ø Pasal 167 KUHP (mengganggu
ketentraman rumah tangga) pada anak kalimat “memaksa masuk secara melawan Hukoem
, atau berada disitu secara melawan Hukoem dan tidak pergi”.
Ø Pasal 378 KUHP (penipuan)
pada anak kalimat “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan Hukoem
, dll.
C. Tidak ada alasan Pembenar
1. Daya Paksa Absolut
Daya paksa (overmacht) tercantum di
dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana
seseorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa.
Kalimat aslinya berbunyi:
Met
Strafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacltt is gedrongen.
“
Undang-undang tidak menjelaskan apakah yang dimaksud
dengan keadaan memaksa (overmacht). Tidaklah jelas,
apakah overmacht itu, apa sebab sehingga dipidana, apakah
menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Masalah ini
telah berabad-abad dipersoalkan oleh para yuris dan filosof. Remmelink yang
mengerjakan buku Hazewinkel-Suringa, cetakan ke 8, mengatakan, bahwa pada
cetakan ini ia akan membicarakan sebab yang menjadi dasar tidak dapat
dipidananya overmacht itu. Di dalam Hukoem alam katanya orang berpendapat bahwa perbuatan
karena keadaan terpaksa itu berada di luar semua Hukoem . Necessitas no
haber legem (Not kennt kein Gebot), kata Hukoem Kononik. Fichte berpendapat bahwa siapa yang
membuat karena overmacht exempt von der Rechsordnung. Menurut
penjelasan (MvT), orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak
dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang
orang tidak dapat memberikan perlawanan.
Dalam
literatur Hukoem pidana biasanya daya
paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutlak, biasa
disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa
yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik
orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan lain sama ‘sekali. Misalnya,
seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang
lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu
sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.
Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya
paksa absolut ini seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga
bersifat psikis, misalnya orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di
sini pun orang tersebut tidak dapat berbuat lain.Di sini daya paksa itu datang
dari luar. Mungkin dari manusia seperti tersebut di muka, mungkin pula dari
alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa dan
menimpa pula pesawat lain sehingga jatuh korban di pesawat lain itu. Menurut
Vos, memasukkan vts absoluta ke dalam daya paksa adalah
berkelebihan (overbodig), karena pembuat yang dipaksa secara
fisik itu sebenarnya tidak berbuat. Perbuatan itu berarti perbuatan yang
disadari dan orang yang memaksa itu bukan sebagai pembuat tidak langsung tetapi
sebagai pembuat. Orang yang dipaksa tidak termasuk dalam rumusan delik. Jadi,
kalau ia dituntut mestinya diputus bebas (yang sengaja atau kelalaian merupakan
unsur delik) bukan lepas dari tuntutan Hukoem . Kecuali beberapa hal dalam
delik pelanggaran karena di situ kesalahan tidak secara tegas
merupakan elemen delik. (Hal ini dapat dibandingkan dengan strict
liability (tanggung jawab mutlak).
Van
Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa(overmacht) itu merupakan suatu
pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal di mana seseorang karena ancaman
terpaksa melakukan delik.Kalau seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh
orang lain, dapat dianggap sebagai telah berbuat karena daya paksa.
Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang
sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa relatif atau vis compul
siva.Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa
dalam arti sempit (overmacht in engere zin) dan daya paksa
disebut keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa dalam arti
sempit iaIah yang disebabkan oleh orang lain (seperti contoh Van Bemmelen di
muka) sedangkan daya paksa yang berupa keadaan darurat (noodtoestand) disebabkan
oleh bukan manusia.
Contoh klasik keadaan darurat ialah jika terjadi kecelakaan
kapal seperti Tampomas l, orang melompat ke laut, dan ada yang mendapatkan
sepotong papan sebagai pelampung tetapi hanya untuk seseorang saja. Jika ada
orang yang merebut dan mendorong orang yang memegang- papan itu supaya ia
sendiri selamat, maka disebut keadaan darurat (noodtoe.stand).Contoh
klasik ini diperkenalkan oleh Cicero di dalam bukunya Republica et de
ifficio yang menunjuk tulisan filosof Yunani yang bernama Karneades.
Keadaan darurat semacam ini sering disebut sebagai suatu
kepentingan melawan kepentingan, atau ada dua kepentingan yang saling
berhadapan, yaitu kepentingan untuk hidup.Kepentingan pertama yakniorang yang
memegang papan “untuk hidup”, begitu pula yang hendak merebut papan itu,
juga dengan kepentingan “untuk hidup”.
Keadaan
darurat yang lain, yaitu pertentangan antara kepentingan,dan kewajiban,
misalnya seseorang yang dikejar binatang buas lari masuk ke rumah orang tanpa
izin. Di sini kepentingan untuk hidup berhadapan dengan kewajiban untuk menaati
Hukoem (tidak memasuki rumah orang tanpa
izin).Bentuk ketiga dari daya paksa, yaitu kewajiban berhadapan dengan
kewajiban. Atau dengan kata lain, pembuat harus melakukan dua kewajiban
sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya kewajiban seorang penjaga keamanan
yang setiap saat harus selalu berada di posnya, berhadapan dengan kewajiban
untuk melaporkan, permufakatan jahat untuk melakukan delik yang diketahuinya,
(Pasal 164 KUHP). Kalau ia pergi melapor ke pos polisi tentang adanya
permufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaannya yang berarti
melalaikan kewajiban tersebut. Atau contoh lain seseorang yang dipanggil
menjadi saksi pada dua pengadilan yang bersamaan waktunya. Maka ia harus
meninggalkan salah satu kewajiban tersebut (Menurut Pasal 522 KUHP seseorang
yang dipanggil sebagai saksi tidak datang tanpa alasan sah, diancam dengan
pidana).4
Pertanyaan yang timbul berikutnya ialah apakah daya
paksa (overmacht) termasuk dasar pembenar atau dasar pemaaf.
Para penulis berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa semua
bentuk daya paksa (overmacht), baik dalam arti sempit maupun
keadaan darurat (nodtoestand) termasuk dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Alasannya
ialah semua perbuatan yang dilakukan itu masih tetap melawan Hukoem ; hanya
orangnya tidak dipidana karena terpaksa, baik yang berasal dari manusia maupun
dari keadaan. Van Hattum berpendapat demikian, diikuti oleh Moeljatno.
Dikatakan oleh Moeljatno:5
“Dari pendapat-pendapat tersebut di atas yang paling
dapat saya setujui adalah pendirian Van Hattum. Atas perbuatan yang dilakukan
orang karena pengaruh daya paksa, di mana fungsi batinnya tidak dapat bekerja
secara normal karena adanya tekanan-tekanan Yang masih menjadi persoalan
tentunya ialah berapa besar seharusnya tekanan batin dari luar itu, untuk dapat
dikatakan ada daya paksa yang mengakibatkan kesalahan dapat dimaafkan. “
Tetapi pendapat yang umum ialah daya paksa itu dapat
berupa dasar pembenar dan dapat pula berupa dasar pemaaf. Jadi menurut para
ahli ini daya paksa (overmacht) yang tercantum di dalam Pasal
48 KUHP dapat dipisahkan menurut teori atas dua jenis. Van Bemmelen menyebut
keadaan darurat (noodtoe,stand) sebagai dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond). Disini
perbuatan dibenarkan, misalnya sopir (pengendara) yang memberhentikan
kendaraannya di jalan umum karena mobilnya mogok, dapat mengajukan sebagai
keadaan darurat (noodtoestand). Daya paksa membenarkan (reach
tvaardigt) perbuatan-perbuatan yang jika pembuat itu sendiri tidak
mempunyai pilihan yang lain selain melanggar peraturan sebagaimana contoh di
atas.
Sedangkan
daya paksa dalam arti sempit artinya ada paksaan dari orang lain, termasuk
dalam dasar pemaaf.Yang berpendapat daya paksa dapat dimasukkan sebagai dasar
pembenar dan dasar pemaaf seperti ini termasuk pula Simons, Noyon-Langemeijer,
Hazewinkel-Suringa dan juga Jonkers.Hazewinkel-Suringa menunjuk putusan
mengenai keadaan darurat (noodtoestand) yang paling
termasyhur, yaitu arrest kaca mata (opticien
arrest, H. R. 15 Oktober 1923 N.J. 1923. Putusan Pengadilan Amsterdam
melepaskan seorang penjual kacamata dari semua tuntutan Hukoem , sesudah
dibuktikan bahwa ia pada waktu toko sudah harus ditutup (menurut peraturan yang
berlaku di Amsterdam), menjual sebuah kacamata pada seorang yang bernama de
Groothkarena kacamatanya ditiup oleh angin badai, sehingga kacamata tuan De
Grooth jatuh dan pecah, jika penjual kaca mata tersebut tidak melanggar, maka
ia membiarkan tuan De Gorthtidak dapat melihat apa-apa lagi dan oleh karena itu
ia berada dalam keadaan berbahaya.6
Hazewinkel-Suringa selanjutnya menghubungkan putusan ini
dengan pendapat Simons, yang mengatakan dalam hati ini Hoge Raad telah
menambah keadaan darurat dalam arti. sempit yang dahulu berupa daya paksa
psikis menjadi lebih luas, yaitu daya paksa obyektif (objectieve
overmacht).Di sini tidak lagi berupa daya paksa psikis yang mengatakan
tidak dipidananya pembuattetapi telah menjadi dasar pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu
tidak dipidananya perbuatan: Hazewinkel-Suringa menunjuk H.R. 24 Maret 1953.7
Jadi, jelaslah bahwa Hazewinkel-Suringa sama dengan Van
Bemmelen membedakan daya paksa sebagai dasar pembenar dan dasar pemaaf. Paksaan
psikis atau daya paksa dalam arti sempit merupakan dasar pemaaf, sedangkan
keadaan darurat merupakan dasar pembenar. Tetapi Vos mengatakan bahwa keadaan
darurat (noodtoestand) tidak selalu berupa dasar pembenar,
kadang-kadang berupa dasar pemaaf. la memberi contoh jika seseorang
menghilangkan nyawa beberapa orang untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, maka
perbuatan itu tidak dapat dibenarkan tetapi orangnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan, hal ini karena keadaan darurat merupakan salah satu
dasar pemaaf. Sebaliknya jika seseorang meninggalkan pos penjagaan karena pergi
melaporkan tentang terjadinya permufakatan untuk melakukan kejahatan, maka di
sini ada dasar pembenar.
Kalau kita bandingkan dengan KUHP Jerman (Barat) yang
baru, Notstaad terbagi dua, yaitu Pasal 34 mengatur tentang
dasar pembenar (Rechtfertigender Notstand) dan Pasal 35
mengatur dasar pemaaf (Entschuldigender Notstaad),
Lain halnya dengan Pompe, yang mengkategorikanseluruh
daya paksa (overmacht) sebagai dasar pembenar. Alasannya ialah pemisahan antara
“daya paksa” sebagai dasar peniadaan kesalahan dan “keadaan darurat” sebagai
dasar pembenar tidak dapat diterima. Daya paksa itu adalah suatu dorongan
(orang) yang tidak dapat melawannya. Penerapannya dikaitkan dengan kelayakan,
perundang-undangan dan keadaan konkret. Arti faktor psikis di dalam daya paksa
di luar pembuat. Faktor psikis di dalam daya paksa memperlihatkan hubungan
antara melawan Hukoem dan kesalahan .
Van Hamel pun mengatakan bahwa baik dorongan psikis
merupakan keadaan darurat (noodtoestand) sebagai dasar
pembenar, karena pembuat tidak perlu memberi perlawanan. Hazewinkel-Suringa mengatakan
bahwa daya paksa (overmacht) itu selalu datang dari luar diri pembuat
yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Melihat istilah overmacht sudah
menunjukkan maksud itu. Kekuatan dari luar itu mendorong dirinya untuk berbuat
yang tidak dapat ia tidak berbuat. Memori Penjelasan (MvT) juga menyebutnya
sebagai sebab luar dari tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu keyakinan susila dan keberatan batin
tidaklah merupakan daya paksa. Seorang pendeta yang menghasut orang agar
menolak dinas militer berdasarkan keyakinan susila mengenai persiapan perang
dan membunuh sesama manusia, dapat dituntut karena menghasut (H.R. 26 Juni
1916, N.J. 1916, him. 703).
2. Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat (1) KUHP
Pembelaan terpaksa ada pada setiap Hukoem pidana dan sama usianya dengan Hukoem pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh
Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan
undang-undang.
Pasal 49 (1) KUHP (terjemahan) mengatakan:
“Tidak
dipidang barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau
orang lain, karena serangan sekejap itu atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan Hukoem .”
Pembelaan
terpaksa KUHP Indonesia ini berbeda dengan WvS Belanda, karena KUHP Indonesia
mengikuti WvS untuk golongan Eropa dulu (1898). la memperluas pengertian
serangan bukan hanya yang sekejap itu seperti WvS Belanda (oogenblikke
lijke) tetapi diperluas dengan ancamanseranganyang sangat dekat pada
saat itu (onmiddelijke dreigende). Alasannya, karena situasi
dan kondisi Indonesia (Hindia Relanda, waktu itu) berbeda dengan Belanda.
Tetapi menurut Lemaire, maksud tersebut kurang berarti, hanya mempertegas saja,
karena menurut penulis Belanda, Pasal 41 WvS (Pasal 49 KUHP) itu berarti juga
ancaman serangan seketika itu.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu
pembelaan terpaksa (noodweer) tersebut:
1. Pembelaan itu bersifat terpaksa;
2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan
kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain;
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat
dekat pada saat itu; dan
4. Serangan itu melawan Hukoem .
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman.
Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.Asas ini disebut
asas subsidiaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara
kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan
yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional, tidak semua alat dapat digunakan (
hanya yang pantas, masuk akal saja).
Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan
menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan itu harus
sangat perlu. Kalau perlindungan cukup dengan lari maka pembelaan tidak perlu.
Begitu juga putusan Hoge Raad 15 Januari 1957. Tetapi Hazewinkel-Suringa
menyatakan bahwa lari jika mungkin itu kalau serangan datang dari orang gila.
Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh,
kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan
kebebasan bergerak badan dankehormatan kesusilaan yang meliputi perasaan malu
seksual. Lebih sempit daripada kehormatan tetapi lebih luas daripada tubuh saja
(Hoge Raad 8 Januari 1917 N.J. 1957 halaman 175).
3. Menjalankan Ketentuan Undang-undang Pasal
50 ayat (1) KUHP
Pasal 50KUHP menyatakan (terjemahan):
“Barang
siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak
dipidana.”
Sederhana sekali bunyi undang-undang ini. Namun masih
terdapat perbedaan pendapat sekitar istilah apa yang dimaksud dengan
undang-undang di situ. Apakah hanya undang-undang dalam arti formal saja (yang
dibuat oleh pemerintah bersama dengan DPR) ataukah meliputi juga undang-undang
dalam arti material sehingga meliputi pula Peraturan Pemerintah dan peraturan
yang .lebili rendah yang lain.
air di anak sungai itu. Rambonnet bertindak melaksanakan
ketentuan perundang-undangan terakhir. Keistimewaan arrest ini
ialah Hoge Raad mengakui di sini, bahwa sebagai ketentuan undang-undang ialah
suatu peraturan yang berisi suatu aturan yang menyangkut satu orang.8
Menurut Pompe, ketentuan undang-undang meliputi
peraturan (verordening) dikeluarkan oleh penguasa yang
berwenang untuk itu menurut undang-undang. Jadi, meliputi ketentuan yang
berasal langsung dari pembuat undang-undang, dari penguasa yang lebih rendah
yang mempunyai wewenang (bukan kewajiban) untuk membuat peraturan yang berdasar
undang-undang. Yang melakukan perbuatan itu merupakan kewajibannya, oleh
karena itu undang-undang itu menyatakan: “dalam melaksanakan suatu . .
ketentuan”.9
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan menurut Hukoem acara pidana termasuk pengertian Pasal 50
ini.Hazewinkel-Suringa menyatakan antara lain, bahwa ketentuan Pasal 50 ini
sebagai dasar pembenar berkelebihan (overbodig), karena bagi
orang yang menjalankan ketentuan undang-undang dengan sendirinya tidak melawan Hukoem
. Contoh orang yang tidak mempunyai wewenang menyidik (orang swasta) tetapi
menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan, jika tidak termasuk ke dalam
pengertian Pasal 50 KUHP, yaitu menjalankan ketentuan undang-undang (KUHAP), ia
toh tidak dapat dipidana karena tidak melawan Hukoem .
Menurut Hoge Raad 14 Oktober 1940,
1961No. 165 untuk penerapan Pasal 50 KUHP disyaratkan pelaksanaan kewajiban
berdasarkan undang-undang.Menurut Hazewinkel-Suringa,
Kalau kita bandingkan dengan sejarahnya di Belanda, maka
mula-mula Hoge Raad (27 Juni 1887, W5447)mengartikan undang-undang dalam arti
formal yaitu yang dibuat oleh raja dan Staten Generaal ditambah
dengan AMvB dan peraturan sebagai pelengkap undang-undang secara keseluruhan
atau diperintahkan oleh undang-undang.
Kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan
ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang
dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan
undang-undang menurut Undang-Undang Dasar atau undangundang (HR 26 Juni 1899
W7307; 30 Nov. 1914, N.J. 1915, 282, W3747). Arrest terakhir itu
mengenai hal: Seorang yang bernama Rambonnet melanggar Pasal 7 Peraturan Air
Leiding di Gemeente Doornspijk. Ia telah mengeluarkan perintah untuk
menempatkan tanggul di waduk Eeksterbeek dan dengan itu
mengganggu jalan air di anak sungai. Di dalam peraturan lain ditentukan bahwa
Rambonnet berdasarkan syarat-syarat tertentu harus mengatur keadaan kata feit (perbuatan)
di dalam Pasal 50berarti perbuatan yang memenuhi isi delik. Bagaimana mungkin
seseorang berbuat melaksanakan ketentuan undang-undang bersamaan dengan itu
melakukan delik. Sebenarnya ini berasal dari Code Penal, tetapi maksudnya
khusus untuk delik kekerasan. Semula hanya perintah jabatan, tetapi kemudian
ditambah dengan menjalankan ketentuan undang-undang di dalam WvS Belanda10.
Di dalam KUHP Belgia, terdapat dalam satu pasal, yaitu
Pasal 70, yang menyatakan tidak ada delik jika suatu perbuatan ditentukan dalam
undang-undang (sebagai delik) dan oleh pemerintah diperintahkan. Di KUHP Jerman
“menjalankan ketentuan undang-undang” dan “menjalankan perintah jabatan” tidak
tercantum, karena ketentuan semacam itu dipandang berkelebihan (overbodig).
Bagaimana jika seorang penyidik dalam menjalankan
ketentuan undang-undang misalnya akan menangkap tersangka, ia melukai bahkan
membunuhnya karena melarikan diri atau melawan? Hal seperti ini bersifat
kasusistis. Mungkin terjadi daya paksa (overmacht) mungkin
pembelaan terpaksa (noodweer) mungkin pula pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer exces) bagi petugas yang
menjalankan ketentuan undang-undang itu. Dalam menjalankan ketentuan
undang-undang harus patut, tidak berkelebihan.
Sebenarnya
setiap perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan
undang-undang adalah sah dan tidak melawan Hukoem , asalkan dilakukan dengan
sebenarnya dan patut.Menurut Vos, petugas tidak boleh menangkap orang yang
melarikan diri, membunuh atau melukai berat, kecuali mengenai delik yang sangat
serius, misalnya pembunuh massal.
4.
Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat (1) KUHP
Pasal 51 KUHP menyatakan:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Perintah itu karena jabatan. Jadi, antara yang memberi
perintah dan yang diperintah ada hubungan Hukoem publik. Hoge Raad memutuskan
bahwa perintah yang diberikan oleh Pengairan Negara kepada pemborong tergolong
dalam sifat Hukoem perdata dan bukan
perintah jabatan (HR 27 November 1933 W.12698, N.J. 1934 , 266). Tidaklah perlu
hubungan jabatan tersebut hubungan atasan bawahan secara langsung. Misalnya
pasal 525 KUHP ayat (1): “Barangsiapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau
barang, atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongan oleh
penguasa umum tetapi menolaknya padahal mampu untuk memberi pertolongan
tersebut . . .” dan seterusnya.
Jadi, kalau yang dimintai pertolongan tersebut angkatan
bersenjata oleh walikota, maka antara walikota dan anggota angkatan bersenjata
tersebut bukan atasan bawahan secara langsung.Sama halnya dengan “menjalankan
ketentuan undang-undang”, “menjalankan perintah jabatan” ini sebagai dasar
peniadaan pidana adalah berkelebihan (overbodig), jika kita
menerima bahwa melawan Hukoem merupakan
unsur untuk menjatuhkan pidana (unsur delik menurut Vos).11
Hampir semua penulis berpendapat, bahwa Pasal 51 KUHP
tidak perlu mengenai perintah konkret juga termasuk instruksi urnum (HR 17
Desember 1899 W.6603).
Pasal 51 ayat (1) KUHP termasuk dasar pembenar, karena
unsur melawan Hukoem tidak ada,
sedangkan Pasal 51 ayat (2) ialah dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan Hukoem
, hanya pemberat tidak bersalah karena ia beritikad baik mengira menjalankan
perintah pejabat yang berwenang dan sah, padahal tidak sah.Penulis
menempatkannya di unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yang selanjutnya
dibahas di Bab IV terkait unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Untuk
dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat
dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan Hukoem serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan Hukoem untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat
dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pemahaman
kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan adalah sebagaimana
diuraikan di bawah ini.1
Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan
perbuatannya.
2. Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat
perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
Van Hamel berpendapat, bahwa kemampuan bertanggung jawab
adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang
mempunyai tiga macam kemampuan :
1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.
2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak
diperbolehkan oleh masyarakat dan
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut
G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut:2
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti
atau menginsyafi nilai dari perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut
tatacara kemayarakatan adalah dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya.
Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur
pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam
membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur keduanya. Menurut
pembuat KUHP syarat pemidanaandisamakan dengan delik, oleh karena itu dalam
pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga
dalam persidangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya
yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu
tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan
dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan
tersebut bersifat melawan Hukoem untuk
itu. Dilahat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu
bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawab-pidanakan.
Unsur-Unsur
Pertanggungjawaban Pidana:
1. Mampu bertanggung jawab
2. Kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf
Mampu
Bertanggung Jawab
Pertanggungjawaban
(pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut
apabila tindakan tersebut bersifat melawan Hukoem (dan tidak ada peniadaan sifat melawan Hukoem atau rechtsvaardigingsgrond atau
alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka
hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar),
bilamana pada umumnya :3
Dalam bukunya Asas-Asas Hukoem Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya, E.Y.
Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggung jawab
mencakup:
a. Keadaan jiwanya:
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau
sementara (temporair);
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile,
dan sebagainya), dan
3) Tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah
yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,
mengigau karena demam/koorts, nyidamdan lain sebagainya. Dengan
perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut,
apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa:4
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan
kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens),
dan bukan kepada keadaan dan kemampuan
“berfikir” (verstanddelijke vermogens), dari seseorang,
walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke
vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke
vermogens sengaja digunakan istilah “keadaan dan kemampuan jiwa
seseorang”
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan
untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.5Petindak di sini
adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri, menghina dan
sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika tindakan
merupakan menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya dan memakainya
untuk keuntungan sendiri.
C. Kesalahan
Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau
karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat
yang dilarang oleh Hukoem pidana dan
dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam Hukoem pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan
kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu
bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 (empat) unsur yaitu:6
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan Hukoem
);
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung
jawab:
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa
kesengajaan (dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa);
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak
patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Menurut ketentuan yang diatur
dalam Hukoem pidana bentuk-bentuk
kesalahan terdiri dari:7
1. Kesengajaan(opzet).
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan
atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak oleh
karena biasanya, yang pantas mendapatkan Hukoem an pidana itu ialah orang yang
melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur
tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi
pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar Hukoem
.8Kesengajaanyang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
a) Sengaja Sebagai Niat (Oogmerk)
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk)
si pelaku dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalayak
ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak
ada yang menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan Hukoem an pidana ini
lebih nampak apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat
tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman Hukoem pidana (constitutief gevolg).
Sebagian
pakarmengatakan, bahwa yang dapat di kehendaki ialah hanya perbuatannya, bukan
akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanya dapat dibayangkan atau di gambarkan
akan terjadi (voorstellen). Dengan demikian secara siakletik timbul
dua teori yang bertentangan satu sama lain, yaitu:9
a.
Teori kehendak (wilstheorie); dan
b.
Teri bayangan (voorstellen-theorie).
Teori
kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak
pidana di kehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap kesengajaan
apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada bayangan yang
terang, bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu ia
menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Contoh mengenai tindak pidana pencurian, menurut teori
kehendak, si pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian
oleh karena ia menghendaki, bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain,
barang itu akan menjadi miliknya. Sedangkan menurut teori bayangan kesengajaan
ini ada oleh karena si pelaku pada waktu akan mulai mengambil barang milik
orang lain, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan
menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan
akibat yang terbayang tadi.
b) Sengaja Sadar Akan Kepastian atau
Keharusan (zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan
perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar
dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu. Jika ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap
akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan
menurut teori bayangan (voorstelling-theorie)keadaan ini sama
dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk)oleh karena dalam
keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan
hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat pasti akan
terjadi, maka juga kini ada kesengajaan.10
Oleh para penulis Belanda sebagai contoh selalu
disebutkan peristiwa ”Thomas van Bremerhaven”, yaitu perbuatan seseorang berupa
memasukkan dalam kapal laut, yang akan berlayar di laut, suatu mesin yang akan
meledak apabila kapal itu sudah ada di tengah laut. Dengan peledakan ini kapal
akan hancur, dan kalau ini terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi
dari perusahaan asuransi. Dalam merancangkan kehendak ini si pelaku dianggap
tahu benar, bahwa apabila kapal hancur, para anak kapal dan penumpang lainnya
akan tenggelam di tengah laut dan akan mati semua. Dengan demikian, meskipun
kematian orang-orang ini tidak masuk tujuan si pelaku, namun tetap di anggap
ada kesengajaan si pelaku itu, dan maka dari itu si pelaku dapat dipersalahkan
malakukan tindak pidana pembunuhan.11
Menurut Van Hattum ”Kepastian” dalam kesengajaan semacam
iniharus diartikan secara relatif oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin
ada kepastian mutlak. Mungkin sekali para anak kapal dan penumpang dari kapal
laut tadi tertolong semua oleh para nelayan yang ada di tempat meledaknya bom.
Menurut Van Hattum, maksud ”kepastian” ialah suatu kemungkinan yang sangat
besar sedemikian rupa, bahwa seorang manusia biasa menganggap ada kepastian,
tidak ada kemungkinan besar saja.
c) Sengaja Sadar Akan Kemungkinan (Dolus
eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak
disertai bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan,
melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini
ternyata tidak ada persamaan pendapat diantara para sarjana Hukoem belanda. Menurut Van Hattum dan
Hazewinkel-Suringa, ada dua penulis belanda, yaitu Van Dijk dan Pompe yang
mengatakan, bahwa dengan hanya ada keinsafan kemungkinan, tidak ada
kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang
berhati-hati. Kalau masih dapat dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan
kepastian praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk),
maka sudah terang kesengajaan secara keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan
dua macam kesengajaan yang lain itu, melainkan hanya disamakan atau dianggap
seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai berikut:
Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan
belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa di tuju, maka harus di
tinjau sendainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah
perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau ini terjadi, maka dapat
dikatakan, bahwa kalau perlu, akibat yang terang tidak dikhendaki dan hanya
mungkin akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku
jika akibat kemudian toh terjadi.
2. Kealpaan(Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang
timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan
menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu
sendiri.
Dalam pelayanan kesehatan misalnya yang menyebabkan
timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman
dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari
segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan
ilmunya.13
Kelalaian menurut Hukoem pidana terbagi dua macam yaitu:14
1) Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan
perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat
akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205
KUHP;
2) kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana
kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang
oleh Hukoem pidana, misalnya cacat atau
matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat
menurut Hukoem tertulis maupun tidak
tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk
tidak berbuat) yang melawan Hukoem ;
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan
kurang berpikir panjang; dan
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya
pelaku harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH.
Sutorius, skema kelalaian atau culpa yaitu :15
1. Culpa lata yang disadari (alpa)
CONSCIOUS : kelalaian yang disadari,
contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam),
tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk
tidak akan terjadi;
2. Culpa lata yang tidak disadari (Lalai)
UNCONSCIUS : kelalaian yang tidak disadari, contohnya
antara lain kurang berpikir (onnadentkend), lengah (onoplettend),
dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang
tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan
perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam Hukoem pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau
keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia
tidak akan melakukannya.
Berpedoman
pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat,
artinya perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan
syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi.
D. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Hubungan
petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari
petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan
dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan)
melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau
“alpa”. Dan untuk penentuan tersebut, bukan sebagai aklibat atau dorongan dari
sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama
sekali.16
Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa :17
Tiada
terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan bertanggungjawab, bentuk kehendak
dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat
alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld).
Pompe mengatakan bahwa:18
hubungan
petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak
adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari
padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.
Menurut Martiman Prodjhamidjojo19 bahwa unsur subjektif
adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga
perbuatan yang melawan Hukoem tersebut
dapat di pertanggungjawabkan.Unsur-unsur subjektif yaitu :
1. Kesalahan;
2. Kesengajaan;
3. Kealpaan;
4. Perbuatan; dan
5.
Sifat melawan Hukoem ;
Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan
dengan Hukoem atau dengan kata lain
harus ada unsur melawan Hukoem . Unsur-unsur objektif yaitu :
1. Perbuatan; dan
2. Sifat melawan Hukoem ;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua
bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum, yang berlaku kepada semua rumusan
delik yg disebut dalam Pasal 44, 48 – 51 KUHP, kedua adalah alasan penghapus
pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122,
221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP. 20 Namun Pada kali ini, hanya akan
di bahas mengenai alasan pemaaf saja, karena alasan pembenar sudah di bahas
pada sub Bab sebelumnya.
Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang
diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal 48
KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat
(2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah
itu datang dari pejabat yang berwenang.
Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf
yang terdapat dalam KUHP adalah ;
1. Daya Paksa Relatif (Overmacht) ;
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis
compulsive) seperti keadaan darurat. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP.
Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van
toelichting (MvT) daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya
paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya
paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan
daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas subsidiaritas dan
proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Pemahas lengkap mengenai daya
paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab sebelumnya bagian daya paksa
absolute.
2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP
Pasal 49 ayat (2) menyatakan:
“Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu
keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan Hukoem yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan
kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
Ø Pada pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui
bataskarena keguncangan jiwa yang hebat, aleh karena itu,
Ø Maka perbuatan membela diri
melampaui batas itu tetap melawan Hukoem , hanya orangnya tidak dipidana karena
keguncangan jiwa yang hebat.
Ø Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang
melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan
dasar pembenar, karena melawan Hukoem nya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas
pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional.Melampaui batas
pembelaan ada dua macam. Pertama, orang yang diserang sebagai
akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap
pada saat diserang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J.
1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama
ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah
orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa
yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.
3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah,
Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah, Pasal 51 ayat (2) KUHP
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang,
namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang
berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut
dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam
lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP
itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari
pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1) Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad
baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang: dan
2)
Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup
pembuat sebagai bawahan.
TEORI PEMIDANAAN
A. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi
dan juga tahap pemberian sanksi dalam Hukoem pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan
sebagai Hukoem , sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai pengHukoem an.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang
penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu
mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga
masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana
dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak
lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama
sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya
pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif
terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat
benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut
:
1. Pemberian pidana oleh
pembuat undang-undang;
2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang
berwenang.
Pada sat ini sistem Hukoem pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem
Hukoem pidana yang berlaku seperti yang
diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun
1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1
tahun 1960 tentang perubahan KUHP , UU No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa
perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana
denda dalam KUHP.
Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan
penjajah belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem
pemidanaannya masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik
pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.
Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara
yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang
yakni dalam KUHP :
1. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya
didalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari
kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana
juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.
2. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus
dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.
Dalam
KUHP penjaTuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana
yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif
pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana
pokok yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana
pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal
10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi
pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana
tambahan mandiri tanpa penjaTuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat
(30) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa
tersebut pada orangtuanya).
Mengenai maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima
belas tahun dan hanya boleh dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum
pidana penjara teratas adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP.
Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati
menjadi satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena
pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum
pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.
Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para
ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan
sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan
dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :1
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien).
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).
3.
Teori Gabungan (vernegins theorien).
A.
Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
1.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Aliran
ini yang menganggap sebagai dasar dari Hukoem pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung).
Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti
Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo polak.
Menurut
Kant mengemukakan bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan Hukoem adalah suatu syarat mutlak menurut Hukoem dan keadilan, Hukoem an mati terhadap penjahat
yang melakukan pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.2
Menurut
Stahl mengemukakan bahwa :3
Hukoem
adalah suatu aturan yang bersumber pada
aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdiatau wakil
Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan Hukoem dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap
Hukoem wajib dibalas setimpal dengan
pidana terhadap pelanggarnya.
Lebih
lanjut Hegel berpendapat bahwa :4
Hukoem
atau keadilan merupakan suatu kenyataan
(sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau
penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya Hukoem (anti these), oleh karna itu harus
diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(synthese)
atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya Hukoem (these)
7Pendapat
lain dikemukakan oleh Herbart bahwa :5
Apabila
kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap
masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari
sudut aethesthica harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal pada
penjahat pelakunya.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel
Theorien)
Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar Hukoem
dari pidana adalah terletak pada tujuan
pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu,
maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan
ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).
Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang
merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi
umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui
pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak
melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri
dengan harapan agar siterpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan
berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah
untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak
pidana.
Teori-teori yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum
adalah seperti yang ditulis oleh Lamintang sebagai berikut : 6
a. Teori-teori yang mampu membuat orang jera, yang
bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka tidak
melakukan kejahatan ataupun pelanggaran-pelanggaran terhadap kaedah-kaedah Hukoem
pidana.
b. Ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah
diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman Hukoem an itu harus harus
dapat mencegah niat orang untuk melakukan tindak pidana, dalam arti apabila
bahwa orang melakukan kejahatan mereka pasti dikenakan sanksi pidana, maka
mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.
Adapun menurut Van Hamel bahwa teori pencegahan umum ini
ialah pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat
jahat.7
Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang
bersifat pencegahan khusus, yakni :8
a. Pidana adalah senantiasa untuk pencegahan khusus,
yaitu untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara
menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan
niatnya.
b. Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti
dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjaTuhan pidana harus bersifat
memperbaiki dirinya (reclasering).
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi
diperbaiki, maka penjaTuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat
mereka tidak berdaya.
d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan
tata tertib Hukoem didalam masyarakat.
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Disamping teori absolut dan teori relatif tentang
pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur
pembalasan dalam Hukoem pidana, akan
tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki
penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat
kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut
adalah: 9
Kelemahan teori absolut adalah:
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada
pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus
dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
b. Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk
pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?
Kelemahan teori relatif adalah :
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan
itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan
kepuasan dengan demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan
mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit
dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.
Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ahli (Hukoem pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan,
ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.Yang pertama, yaitu
menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe Pompe menyatakan :10
Orang
tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan
sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan tidak dapat dikecilkan
artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan
tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan
pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan:11
”Pidana”
bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Sementara ”tindakan”
bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya
bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan
masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan
keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi
masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan
beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat
diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan
oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap
pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata Hukoem .
Pidana mengembalikan hormat terhadap Hukoem dan pemerintahan.12
Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan
pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada
yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang
seharusnya.
Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan
terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela,
pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah
melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum,
bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara
ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”Teori gabungan yang
ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.
Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.13
Terlepas dari berbagai teori di atas, penulis juga
mengemukakan beberapa teori terkait tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai
pakar ilmu Hukoem . Menurut Remmelink Hukoem pidana bukan bertujuan pada diri sendiri,
tetapi ditujukan juga untuk tertib Hukoem , melindungi masyarakat Hukoem .
Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.
Dalam literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah
3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan
1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General
Deterrence.
B. Jenis-Jenis Pidana
Hukoem pidana
indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1. Pidana Pokok
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Pidana denda.
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;dan
c. Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis
pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya,
yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana
tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya
bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini
terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal
250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai
berikut :
a. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana
pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak
yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan
kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.
Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan dari pidana tambahan ini adalah
fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan
terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis,
261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c. Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak
dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim
dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana
tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1) Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu :
“Pidana
mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam
pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111
ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340
KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan
Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana
mati juga tercantum dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan
Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan
kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar
wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10,
dan Pasal 14).
Apabila
terpidana dijatuhi Hukoem an mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan
setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa
penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan
grasi. Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga
memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2
Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)
Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati
tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari
berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan
pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan
oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari
berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.
2)
Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan
permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera
dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus
memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau
Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4) yakni Hakim,
Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat
pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama
dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3) Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum
Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.
Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan
Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau
grasi dari Presiden.
Pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita
yang sedang hamil, ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan
memperhatikan kemanusiaan.
b. Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara
merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara
atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara
tetapi juga berupa pengasingan.16
Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga
ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh
tahun).
Sedangkan P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa :17
Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan
mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib
bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka
secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi,
seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum),
hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.
Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang
jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi
Hamzah , yaitu :18
Pidana
penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit
bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak
tertentu seperti :
1) Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang
Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar
kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;
2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah
agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik;
3) Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal
ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4) Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu,
misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan
lain-lain);
5) Hak untuk mengadakan asuransi hidup;
6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan
merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut Hukoem perdata;
7) Hak untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin
sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan
hanya bersifat formalitas belaka; dan
8) Beberapa hak sipil yang lain.
c. Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana
penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana
kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung
orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan
dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang
ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama Hukoem an pidana
kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun,
sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari
dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau
pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun
empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun
empat bulan”.
Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana
kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:
1) Sebagai custodia honesta untuk tindak
pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan
beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal
182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam
pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan.
2) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan
kemerdekaan untuk delik pelanggaran.
Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana
kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus
untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.19
d. Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih
tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah
kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh
Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah
melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :20
Pidana
denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan
baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda
ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara
alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana
pokok tersebut secara bersama-sama.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh
orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana
pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang
atas nama terpidana.
2) Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah
pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam
hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini
bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini
berbeda dengan ketentuan bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut
adalah :21
1) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping
pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana
satu-satunya.
2) Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di
dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman,
ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3) Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya
diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4) Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan
suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah
fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga
bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat
preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam
kemungkinan mendapat grasi.
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang
dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang
tertentu;
2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
4) Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan
atas orang yang bukan anak sendiri;
5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
atau pengampuan atas anak sendiri;
6) Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1)
KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau
pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak
lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling
sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim
dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat
dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk
pemecatan itu.
b. Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis
pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai
perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat
dirampas;
2)
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau
karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan
hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang
bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita
sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak
diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar.
Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas
diserahkan.
c. Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang
mengatur bahwa:
“Apabila
hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini
atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan
hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan
terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau
kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila
secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.
Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja
yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar