BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi
yuridis) maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi
sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh
masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling modern.
Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut, karena
kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat
merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan
dan lain-lain.
Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang
sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang mendasari
kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual
maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja diakui oleh para ahli secara
perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi juga oleh masyarakat
bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional, antara lain dinyatakan di
dalam :
a. Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa,
telah dinyatakan, bahwa tidak diragukan lagi kejahatan telah membawa
akibat-akibat sebagai berikut :
1) Mengganggu atau
merintangi tercapainya tujuan nasional;
2) Mencegah penggunaan
optimal sumber-sumber nasional.
b. Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah
satu pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan :
“Bahwa fenomena
kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh
pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun
material, membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan
kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.
Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kejahatan, dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala
daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan.
Salah satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah
dilakukan selama ini bahkan merupakan cara yang paling tua setua peradaban
manusia itu sendiri, ialah menggunakan Hukoem pidana dengan sanksinya berupa pidana.
Beberapa alasan penggunaan Hukoem pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh :
a. Roeslan Saleh, menyatakan :
1) Perlu tidaknya Hukoem pidana tidak terletak pada persoalan
tujuantujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh
untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan
terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai
dari hasil itu dan dalam dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;
2) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang
tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terHukoem dan disamping itu harus ada reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja;
3) Pengaruh pidana atau Hukoem pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
b. H.L. Packer, menyatakan :
1) Sanksi pidana sangatlah dipelukan : kita tidak
dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana;
2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang
terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya besar dan
segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu;
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin
yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancaman yang utama”
dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat
dan digunakan secara manusiawi. Sebaliknya ia merupakan pengancaman apabila
digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
c. Marc Ancel, menyatakan :
Sistem Hukoem pidana, tindak pidana, penilaian hakim
terhadap sipelanggar dalam hubungannya dengan Hukoem secara murni dan pidana merupakan
lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukoem pidana dan pidana masih tetap diperlukan
sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja
terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek pengamanan
masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Pengguna Hukoem pidana
dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu
menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah
menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai
akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari
pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare),
baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah
berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa
kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai
dampak penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya
kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma
sosial, dan sebagainya
Dengan kata lain, dalam kenyataannya Hukoem pidana telah gagal melaksanakan fungsinya,
yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan
pemerintah dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan Hukoem pidana dalam menanggulangi kejahatan, terbukti
dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke tahun. Peningkatan itu tidak hanya
dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada kualitasnya. Misalnya penggunaan
teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang melahirkan
kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi, kejahatan
pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup,
penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak hanya berorienasi
kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan negara. Barda Nawawi
Arief, menyatakan, bahwa “tindak pidana ekonomi dan tindak piana lingkungan
merupakan salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan yang ada di
dunia internasional. Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa membicarakan
beberapa bentuk dan dimensi kejahatan, antara lain :
a. Crime as Business, yaitu bentuk kejahatan yang bertujuan
mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam bidang usaha (bisnis)
atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan
oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang di dalam masyarakat.
b. Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional
dan internasional yang bisa disebut perbuatan “terorisme”.
c. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan
tempat, misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pelacuran dan
sebagainya.
Masalah yang berhubungan dengan pengungsi, antara lain pengalihan
bantuan dan spionase. Menurut Muladi, “Perkembangan kejahatan ini telah
melewati batas-batas negara dan menunjukkan adanya kerja sama kejahatan yang
bersifat regional dan internasional. Hal ini nampaknya merupakan hasil
sampingan dari perkembangan sarana transportasi dan komunikasi modern”.
Terdapatnya masalah dalam penanggulangan kejahatan melalui
penegakan
Hukoem pidana, telah menimbulkan kritik dan kecaman
yang sangat pedas terhadap penggunaan Hukoem pidana dan pidana. Penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan (Hukoem ) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older
philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (Hukoem ) pidana
merupakan “peninggalan dari K ebiadaban kita masa lalu (a vestige of our
savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan
pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan
penderitaan yang kejam. Memang sejarah Hukoem pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh
dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang
dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan
pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris, terutama justru
merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.
Atas dasar pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat
yang menyatakan bahwa teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal
pemindanaan merupakan a relic of barbarism. Disamping
kegagalan Hukoem pidana memenuhi
fungsinya, dasar pemikiran lain yang menjadi penyebab penolakan terhadap penggunaan
Hukoem pidana dan pemidanaan dalam
menanggulangi kejahatan, yakni adanya paham “determinisme” yang menyatakan,
bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan,
karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun
faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian, kejahatan tidak dapat
dipersilahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena
seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan
organic dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya,
melainkan tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan
determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat mempengaruhi aliran
positif di dalam kriminologi, dengan tokohnya antara lain Lambroso, Garofalo
dan Ferri.
Kampanye anti pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini,
dengan slogan barunya yang terkenal the struggle against punish atau abolition
of punishment. Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry
forensic sekaligus seorang kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan
pada umumnya merupakan perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si
pelanggar (the exoression of an offrenders abnormality or immaturity)
dari pada (punishment). kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan,
“sikap memidana” (punitive Attitude) harus diganti dengan :sikap
mengobati” (therepeutic attitude) Ide penghapusan pidana ini dikemukakan
pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh ekstrim dari aliran defense
sociale yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern.
Menurut Gramatica, hokum perlindungan sosial harus menggantikan Hukoem pidana yang ada sekarang.
Tujuan utama Hukoem perlindungan sosial adalah mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukoem
perlindungan sosial mensyaratkan
penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya digantikan oleh
pandangan tentang perbuatan anti Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik
untuk mengadakan suatu penelitian yang dituangkan dalam sebuah tesis yang
diberi judul “Pelaksanaan Politik Hukoem Pidana dalam upaya Menanggulangi Kejahatan”.
B. Perumusan Masalah :
Berdasarkan uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan
yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud Politik Hukoem Pidana ?
2. Bagaimanakah Pelaksanaan Politik Hukoem dalam Penanggulangan Kejahatan ?
C. Tujuan Penelitian dan
Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan
ruang lingkup politik Hukoem pidana;
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan fungsi politik Hukoem
pidana dalam penanggulangan kejahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan ruang lingkup politik Hukoem pidana
Istilah “Politik Hukoem Pidana” dalam tulisan ini diambil dari
istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda).
Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukoem Pidana” dapat pula disebut dengan istilah
“Kebijaksanaan Hukoem Pidana”.
Dalam kepustakaan asing, istilah politik Hukoem pidana ini sering dikenal dengan berbagai
istilah, antara lain penal politik, criminal policy atau strafrechtspolitiek.
Pengertian politik Hukoem pidana, antara
lain :
1. Menurut Marcx Ancel, Penal
Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan Hukoem positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.
2. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah
garis kebijakan untuk menentukan:
1) diperbaharui.
2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana.
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan
dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
3. Menurut Soerjono Soekanto, Politik Hukoem pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih
nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik
untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan dengan lain
perkattaan, maka politik hokum pidana merupakan upaya untuk secara rasional
mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi
sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan.
Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas,
pengertian politik Hukoem pidana dapat
pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal
policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik Hukoem
pidana mengejawantah dalam bentuk Penal
(hokum pidana) dan Nonpenal (tanpa Hukoem pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari
politik kriminal, politik Hukoem pidana
dapat diartikan sebagai
“suatu usaha yang
rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan Hukoem pidana”.
Bertolak dari beberapa uraian mengenai pengertian politik Hukoem pidana yang dikemukakan diatas, maka secara
umum dapat dinyatakan, bahwa politik Hukoem pidana adalah : “suatu usaha untuk
menanggulangi kejahatan melalui penegakan Hukoem pidana yang rasional, yaitu memenuhi rasa
keadilan dan daya guna. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa politik
gukum pidana sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan, mengejawantah
dalam bentuk
penegakan Hukoem pidana yang rasional. Ada tiga tahap dalam
penegakan Hukoem pidana yaitu :
a. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan Hukoem pidana inabstracto oleh badan
pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan
memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini yang akan
datang. Kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat pula disebut tahap
kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukoem pidana (tahap penerapan Hukoem pidana) oleh aparat-aparat penegak Hukoem mulai dari kepolisian sampai Pengadilan. Dalam
tahap ini aparat penegak Hukoem bertugas
menegakan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah
dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak
Hukoem harus berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat pula disebut sebagai
tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan
(pelaksanaan) Hukoem pidana secara
konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat
pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundangundangan pidana yang
telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah
ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana ini dalam
menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan
pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta
daya guna.
Ketiga tahap penegakan Hukoem pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau
proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas
harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang
bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
penegakan Hukoem pidana yang rasional
sebagai pengejawantahan politik Hukoem pidana, melibatkan minimal tiga faktor yang
saling terkait, yaitu penegak hokum pidana, nilai-nilai dan Hukoem ,
(perundang-undangan) pidana. Pembagian tiga faktor tersebut dapat dikaitkan
dengan pembagian tiga komponen sistem Hukoem , yaitu “substansi Hukoem :,
“struktur Hukoem ” dan“budaya Hukoem ,”.
a. Faktor Penegak Hukoem
Faktor ini menunjukkan pada adanya kelembagaan yang mempunyai
fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak didalam suatu mekanisme. Adapun faktor
penegak Hukoem atau dapat pula disebut
komponen struktur Hukoem , meliputi :
1) Badan pembentukan undang-undang atau lembaga
legislatif.
2) Aparat penegak Hukoem dalam arti sempit, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Penasehat Hukoem dan
Pengadilan,
3) Aparat pelaksanaan pidana.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor penegak Hukoem merupakan tempat kita menggantungkan harapan
bagaimana suatu sistem Hukoem itu
seharusnya bekerja (law in the books) dan bagaimana bekerjanya suatu
system Hukoem dalam kenyataan (law in
action). Di sini berlaku adagium yang berbunyi, bahwa “baik buruknya
sesuatu tergantung kepada baik buruknya manusianya”. Dalam kerangka penegakan Hukoem
pidana, hal ini mengandung makna bahwa
baik buruknya penegakkan Hukoem pidana
tergantung kepada baik buruknya aparat penegak Hukoem . Jadi bukan tergantung
kepada Hukoem nya. Tegasnya, walaupun Hukoem nya baik, tetapi jika para
penegaknya (penegak Hukoem dalam arti
sempit) tidak baik, maka penegakkannya pun tidak akan baik, demikian pula
sebaliknya. Adapun baik buruknya penegak Hukoem tergantung kepada nilai-nilai yang diterima
dan dipahaminya. Singkat kata, penegakan Hukoem yang baik harus bermula darinilai yang baik.
b. Faktor Nilai
Telah dikemukakan diatas, bahwa faktor nilai merupakan sumber dari
segala aktivitas dalam penegakan Hukoem pidana. Jika nilanya baik, maka akan baik pula
penegakan Hukoem pidana, demikian pula
sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya kedudukan nilai dalam
mewujudkan penegakan Hukoem yang baik.
Sejauh mana urgensi nilai dalam mewujudkan penegakan Hukoem pidana yang baik, Soerjono Soekanto11 menyatakan.
Jika komponen yang bersifat struktur (baca : penegak Hukoem , pen) dapat kita
ibaratkan sebagai suatu mesin, maka komponen kedua (baca : nilai.Pen.) dapat
kita ibaratkan sebagai bensin, yang merupakan penggerak dari mesin tadi.
Jikalau bensin yang kita pakai untuk mengisi mesin tadi adalah bensin campuran,
maka hal ini akan mempengaruhi daya laju mesin tadi.
Apabila yang dibicarakan
adalah tentang bensin campuran sebagai pengisi mesin tadi, maka yang menjadi
masalah adalah nilai yang diterima oleh para penegak Hukoem yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan
pelaksanaan Hukoem itu. Faktor nilai
akan membentuk pemahaman dan sikap para penegak hokum dalam melaksanakan
tugasnya menegakkan Hukoem pidana, baik
mengenai bagaimana suatu sistem Hukoem itu seharusnya bekerja (law in the
books) maupun tentang bagaimana bekerjanya suatu sistem hokum dalam
kenyataan (law in action) Contoh populer mengenal hal ini
adalah pemahaman para penegak hokum terhadap asas legislatif.
Sebagaimana diketahui, bahwa ada tiga pemahaman bentuk pemahaman
terhadap asas legalitas, yaitu :
1) Asas legalitas dalam arti peraturan
perundang-undangan yang positif (positief Wettelijke). Disini orang
menterjemahkan asas legalitas semata-mata didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Jadi sah (legal) atau tidaknya suatu perbuatan semata-mata
berpegang kepada ada atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur
perbuatan itu, tanpa memperhitungkan sama sekali Hukoem yang hidup (rasa keadilan) dalam masyarakat.
Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan”. Contoh konkretnya adalah penanggulangan terhadap
Tindak Pidana subversi. Para penegak Hukoem berpegang teguh pada ketentuan Undang-undang
No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, walaupun perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan di dalam undang-undang tersebut oleh masyarakat tidak dianggap
lagi sebagai kejahatan, tetapi karena peraturan perundangundangan tersebut
belum dicabut, maka aparat penegak Hukoem akan tetap memproses dan mengHukoem orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Disini yang dipegang hanya kepastian Hukoem , sedangkan keadilan sama sekali
tidak diperhatikan.
2) Asas legalitas dalam arti peraturan
perundang-undangan yang negative (negatief wettlelijke). Berbeda dengan
pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief
wettelijke). Pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan
perundang-undangan yang negative (negatief wettelijke) ini memperluas Hukoem
yang hidup (Hukoem yang tidak tertulis/Hukoem adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu
perbuatan, sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur di
dalam undang-undang. Perluasan pemahaman terhadap asas legalitas ini tidak
dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin
asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan
antara kepastian Hukoem dengan keadilan.
Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Naskah
Rancangan Kitab Undang-undang Hukoem Pidana
(baru) Konsep tahun 1991/1992 yang telah disempurnakan oleh Tim Kecil sampai
dengan tanggal 13 Maret 1993, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1) :
“Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya atau
tidak dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Pasal 1 ayat (3) :
“Ketentuan dalam ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya Hukoem yang hidup menentukan bahwa menurut adat
setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur di dalam
peaturan perundang-undangan”.
Ketentuan pasal 1 ayat (3) di atas sekilas memang terlihat
menampung atau memperhatikan aspirasi masyarakat karena member tempat bagi
berlakunya Hukoem adat, tetapi jika
dikaitkan dengan salah satu tujuan keberadaan asas legalitas, yaitu untuk
melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa dalam
menanggulangi kejahatan, maka ketentuan Pasal 1 ayat (3) konsep tersebut justru
merupakan ancaman bagi warga masyarakat. Jika Pasal 1 ayat (3) tersebut
betul-betul dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai keadilan,
maka rumusannya harus ditambah, sehingga berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan
dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya Hukoem yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat
setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam
peraturan perundangundangan”, (tambahnya) “sebaliknya walaupun suatu perbuatan
telah dinyatakan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana
tetapi apabila karena perbuatan itu masyarakat tidak dirugikan dan tidak ada
hak yang dilanggar, maka perbuatan itu tidak patut dipidana”.
Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (3) konsep KUHP Baru
tersebut diatas, sebenarnya sudah sejak lama dan tersebar dalam produk
legislatif selama ini, seperti termuat di dalam : Pasal 5 ayat (3) Sub b
Undang-undang No. 1 Drs. 1951 : …bahwa suatu perbuatan yang menurut Hukoem yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukoem Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan Hukoem
an yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah,
yaitu sebagai Hukoem an pengganti bilamana Hukoem an adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak yang terHukoem dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan
terHukoem …, bahwa suatu perbuatan yang
menurut Hukoem yang hidup dibandingnya
dalam Kitab Hukoem Sipil, maka dianggap
diancam dengan Hukoem an yang sama dengan Hukoem an bandingnya yang paling
mirip kepada perbuatan pidana itu.
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang lama yaitu UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai berikut :
Pasal 14 ayat (1) :
“Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa Hukoem tidak/kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan mengadilinya”.
Pasal 23 ayat (1) :
“Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga
harus memuat pula pasal-pasal tertent dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber Hukoem tidak
tertulis”.
Pasal 27 ayat (1) :
“Hakim sebagai penegak Hukoem
dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai Hukoem yang
hidup”. Walaupun pengakuan terhadap hokum yang hidup sudah sejak lama ada di
dalam peraturan perundang-undangan (Hukoem positif), tetapi kenyataannya aparat penegak Hukoem
(terutama Polisi, Jaksa dan Hakim)
enggan memproses seseorang yang menurut Hukoem yang hidup patut dipidana. Dengan kata lain,
aparat penegak huku, hanya bepegang kepada peraturan perundang-undangan (Hukoem
positif) saja.Khusus mengenai ketentuan
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970, kami berpendapat bahwa
ketentuan ini di samping memberi kebebasan kepada hakim untuk memidana suatu
perbuatan berdasarkan Hukoem yang hidup,
juga memberi kebebasan kepada hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan yang
menurut peraturan perundang-undangan dapat dipidana, tetapi menurut Hukoem yang hidup tidak perlu dipidana. Mengapa
aparat penegak Hukoem (dalam arti
sempit) dalam menegakan Hukoem tidak mau
menggunakan Hukoem yang hidup, padahal
peraturan perundang-undangan memperbolehkannya? Inilah yang merupakan masalah
nilai. Disini aparat penegak Hukoem sama
sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan sekaligus tidak
memahami makna sebenarnya dari asas legalitas. Aparat penegak Hukoem (Indonesia) tidak lebih dari sekedar mulut
atau kaki angan undang-undang, bahkan lebih parah lagi merupakan mulut atau
kaki tangan penguasa.
4) Asas legalitas sebagai salah satu ciri negara
hokum Negara Hukoem atau Rule of law
dalam arti menurut konsepsi dewasa ini, mempunyai sendi-sendi yang bersifat
universal, seperti : pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(HAM).
Legalitas dalam arti Hukoem dalam segala bentuknya, dan terjaminnya
peradilan yang bebas. Konsepsi negara Hukoem atau rule of law beserta sendi-sendinya
sebagaimana tersebut
diatas, membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi
tersebut dalam berbagai Hukoem , Hukoem pidana formal maupun Hukoem pelaksanaan pidana. Penceminan sendi-sendi
tersebut tersebut di bidang Hukoem pidana, akan menimbulkan penciptaan asas-asass
yang merupakan dasar Hukoem pidana yang
bersangkutan. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu
dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia. Bertolak dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa dalam
kerangka negara Hukoem , asas legilalitas harus dipahami sebagai sarana
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian sah tidaknya
suatu perbuatan tidak hanya diukur dengan ada tidaknya peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, melainkan juga harus ada perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia dalam perbuatan itu. Disini nilai-nilai
kemanusiaan merupakan dasar legalisasi perbuatan. Jika faktor nilai dianggap
sebagai sumber dari segala aktivitas dalam penegakan Hukoem pidana, maka pemahaman yang sama aparat
penegak Hukoem terhadap makna asas
legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan Hukoem , pidana yang
berkeadilan.
c. Faktor Substansi Hukoem
Faktor substansi Hukoem ini
merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi
bekerjanya sistem Hukoem dalam
kenyataan. Baik buruknya suatu substansi Hukoem tergantung kepada baik buruknya sikap para
penegak Hukoem , sedangkan baik buruknya sikap para penegak Hukoem tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai
yang diterima dan dipahami oleh para penegak Hukoem . Dengan demikian, baik
buruknya substansi Hukoem pada
hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan
dipahami oleh para penegak Hukoem . Jadi, sebagai hasil aktual dari bekerjanya
sistem Hukoem , maka substansi Hukoem pada hakikatnya merupakan aktualisasi
nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak Hukoem . Adapun
substansi Hukoem di bidang Hukoem pidana meliputi :
1) Hukoem pidana tertulis yang mencakup Hukoem pidana material, Hukoem pidana formal dan Hukoem pelaksanaan pidana;
2) Hukoem pidana tidak tertulis
Dari keseluruhan uraian diatas secara ringkas dapat dinyatakan,
bahwa ruang lingkup politik Hukoem pidana mencakup: “Usaha atau kegiatan untuk
memilih nilai nilai yang diperkirakan mampu mengekspresikan apa yang terkandung
di dalam masyarakat serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam
kenyataan sebagai bentuk reaksi terhadap kejahatan dalam rangka perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
B. Pelaksanaan politik Hukoem pidana dalam penangulangan kejahatan
Pengertian Pelaksanaan
Politik Hukoem Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim
Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990.
“Pelaksanaan adalah proses atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto
“Melaksanakan Politik Hukoem pidana
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”. Dalam
kesempatan lain beliau menyatakan “Bahwa melaksanakan politik Hukoem pidana berarti usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik Hukoem
pidana dapat diartikan sebagai proses
atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu
tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga
komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan Hukoem , yaitu komponen
kultur atau nilai Hukoem , komponen struktur Hukoem dan komponen substansi Hukoem .
Pendekatan Dalam
Pelaksanaan Politik Hukoem Pidana
1. Pendekatan
Integral Antara Kebijaksanaan Penal dan Nonpenal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan
sarana penal (Hukoem pidana), tetapi
juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya
penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab
sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui
pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan
anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara terus-menerus
oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang
yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional.
Tujuan uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki
kondisi-kondisisosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh
preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik
kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai
kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan
dan diiternsifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan
berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu,
suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan
seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social
defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula
tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan
nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.
2. Pendekatan
Kebijakan dan Pendekatan Nilai
Tiga masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan
sarana Hukoem pidana (politik Hukoem pidana), yaitu masalah penentuan:
1)
Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
2)
Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan
3)
Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi, bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari
politik sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas
harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial
yang telah ditetapkan. Dngan demikian politik Hukoem pidana (termasuk pula dalam menangani tiga
masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada
pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya
Sudartoberpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering
disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya
sebagai berikut:
a. Penggunaan Hukoem pidana harus memperhatikan tujuan nasional,
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan Hukoem pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan
ditanggulangi dengan Hukoem pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan
ketugian baik material maupun spiritual atas warganya. Penggunaan Hukoem pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak Hukoem , yaitu jangan kelampauan
beban tugas (overbelasting)
3) Penggunaan sarana penal atau (Hukoem ) pidana
dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang
banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan
yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan
saja Hukoem pidana dan pidana sama
sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak
pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah
kebijaksan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara
absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang
kebijakan/politik.
Tahap Pelaksanaan
Politik Hukoem Pidana
Upaya penanggulangannya kejahatan dengan Hukoem pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian
dari upaya penegakan Hukoem . Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa
politik atau kebijakan Hukoem pidana
merupakan bagian pula dari politik atau kebijakan penegakan Hukoem . Telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan
politik Hukoem pidana pada hakikatnya
merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:
a. Tahap formulasi, yaitu tahap
penegakan/pelaksanaan politik Hukoem pidana inabstracto oleh badan pembuat
undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik Hukoem
pidana oleh para penegak Hukoem , mulai
dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut
tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik Hukoem
pidana secara konkret oleh aparat
pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau
administrasi.
Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus
merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari
kebijakan nasional. Jadi tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus
diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik Hukoem pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari
pernyataan bahwa politik Hukoem pidana
merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi
tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih”
atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak Hukoem pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang
yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di
bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat denganmHukoem
pidana”. Disamping itu, karena
pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan
berbagai pengetahuan (multidisiplin).
Dimensi Kemanusiaan
Dalam Pelaksanaan Politik Hukoem
Menurut Mulyana W. Kusumah. Proses penegakan Hukoem dapat dilihat melalui dua sudut pandang :
1. Dari sudut pandang kultural, penegakan Hukoem adalah upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat
sosial kontrol (pengendalian sosial) resmi untuk melaksanakan internalisasi Hukoem
pada warga masyarakat.
2. Dari sudut pandang struktural, penegakan Hukoem adalah bekerjanya berbagai organisasi yang
mewakili pola kepentingan dan konstelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan
“keamanan dan ketertiban” sesuai dengan ideologi Hukoem yang berkuasa.
Selanjutnya dinyatakan oleh Mulyana W. Kusumah, bahwa pada suatu
masyarakat yang menampilkan kondisi Hukoem represif, terlihat bahwa dasar keabsahannya
terutama terletak pada social defence (perlindungan sosial) dengan ciri-ciri
antara lain pranata Hukoem tunduk pada
politik kekuasaan dalam arti kelestarian adalah tugas penegakan Hukoem dengan sifat-sifat paksaan yang meluas. Dalam
kondisi ini, seringkali terjadi apa yang disebut “keadilan kelas” (class
justice) dengan kecenderungan kuat kearah kriminalisasi tindakan golongan
masyarakat yang dipandang membahayakan pusat-pusat kekuasaan. Dalam hal ini
,unsur-unsur sistem peradilan pidana (misalnya), bekerja melalui proses sangat
selektif dan melibatkan suatu jaringan diskresi yang luas oleh aparat penegak Hukoem
. Prinsip penegakan Hukoem yang berpijak
pada gagasan tentang negara Hukoem dan
the rule of law, pada dasarnya telah meletakkan syarat-syarat bagi transpormasi
Hukoem represif (yang merupakan ciri Hukoem
kolonial) ke kondisi dasar Hukoem otonom yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritasnya sendiri serta Hukoem responsif yang merupakan sarana respon atas
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, aparat penegak Hukoem di Indonesia sesungguhnya telah mempunyai
landasan yang kokoh, oleh karena prinsip tersebut telah terkandung di dalam UUD
1945.
Persoalan yang utama dalam proses penegakan Hukoem berkisar antara lain pada efektifitas dan
dampak sosialnya. Efektivitas penegakan Hukoem jelas tidak dapat diukur semata-mata
berdasarkan kriteria rancu, seperti jumlah warga negara yang terkena sasaran
penegakan Hukoem dan sebagainya.
Penilaian terhadap efektivitas penegakan Hukoem ditentukan oleh seberapa jauh rangkaian upaya
penegakan Hukoem dalam kurun waktu
tertentu sudah mendekatkan pada tujuan Hukoem , yakni keadilan, atau seberapa
jauh nilainilai Hukoem proses-proses
maupun nilai-nilai Hukoem substansi
telah terimplementasi melalui penegakan Hukoem .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional
untuk menanggulangi kejahatan. Politik Hukoem pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hokum
pidana) dan Nonpenal (tanpa Hukoem pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari
politik kriminal, politik Hukoem pidana
dapat diartikan sebagai
“suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan Hukoem pidana”.
Ada tiga tahap dalam
penegakan Hukoem pidana yaitu :
1. Tahap formulasi
2. Tahap aplikasi
3. Tahap eksekusi
Menurut Sudarto “Melaksanakan Politik Hukoem pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna”
pelaksanaan politik Hukoem pidana dapat diartikan sebagai proses atau
cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu
tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga
komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan Hukoem , yaitu komponen
kultur atau nilai Hukoem , komponen struktur Hukoem dan komponen substansi Hukoem .
B. SARAN
Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam
Menanggulangi Kejahatan, hal. 28-41 Fakultas Hukoem Undip Semarang, 1991;
Muladi, Stelsel Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru,
Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Kriminologi yang
diselenggarakan oleh Universitas Andalas Padang Tanggal 30 Oktober -11 November
Barda Nawawi. Arief, Masalah Penegakan Hukoem Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan
Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukoem Pidana Angkatan IV yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukoem Unsud di Purwokerto
tanggal 25 Maret – 10 April 1990;
Muladi, Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan
Instrumen-instrumen Internasional, Makalah yang disajikan dalam penataran
Nasional Hukoem Pidana. Tanggal 20 april
1990
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukoem Pidana, Fakultas Hukoem Undip semarang, hal. 24, tanpa tahun
Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia,
hal. 5, PidatoPengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;
Sudarto, Hukoem dan
Perkembangan Masyarakat, hal 62, Sinar Baru, Bandung. 1983
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan
Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukoem Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukoem
, hal . 273 – 286 Alumni Bandung, 1986
Kitab Undang-Undang Hukoem
Pidana, Hal. 140.
Thx kak, terbantu banget saya :)
BalasHapus