Jumat, 13 Januari 2017

makalah cara merumuskan pidana jenis jenis pidana

    



 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Hukoem  adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan Hukoem  itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya Hukoem  yang mengatur. Dalam Hukoem  dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu Hukoem  pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang  baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok.

Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan Hukoem an karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu Hukoem  pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri. 

B.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?

2.      Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?

3.      Siapa saja subjek tindak pidana ?

C.      Tujuan

1.      Ingin memahami cara merumuskan perbuatan pidana;

2.      Ingin mengetahui jenis-jenis tindak pidana;

3.      Ingin mengetahui subjek tindak pidana.


BAB II

LANDASAN TEORI

A.     Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan didalam  pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang Hukoem  pidana          kepastian Hukoem  atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.

Dalam Hukoem  pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.

Dalam buku  II dan III KUHP Indonesia  terdapat berbagai cara atau teknik perumusan perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan Hukoem  yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau  tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.

Teknik yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya, misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik itu, misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delikd diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania (pasal 351 KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut, menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “ menimbulkan mestapa atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada orang lain.

Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :

1.      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana

Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:

a.       Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana

Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan).

Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).

Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.

b.      Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana

Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415).

c.       Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana

Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama dua  tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2.      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan

Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil).

a.       Dengan Cara Formil

perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan Hukoem  tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan Hukoem  tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “ adanya maksud pengambilan untuk memilikunya dengan melawan Hukoem ”.

Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur melawan Hukoem  yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan barang itu diarahkan ke perbuatan melawan Hukoem , sehingga menjadi unsur objektif bagi para sarjana Hukoem  yang berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi yang perpendapat dualisasi terhadap tindak pidana.

b.      Dengan Cara Materiil

Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi persoalan. Dan  diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.

Dalam hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.

3.      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan

 

a.       Perumusan Dalam Bentuk Pokok

Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.

Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.

b.      Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat

Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.

Cara yang demikian dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan pidana prinsip penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap harus dipegang teguh.

B.      Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

1.      Menurut sistem KUHP

Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu,

a.       Kejahatan (crims)

b.      Perbuatan buruk (delict)

c.       Pelanggaran (contravenrions)

Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu “misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran.

2.      Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)

Tindak pidana formil itu adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.    Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).

Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  (dilarang). tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3.      Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)

Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur kealpaan yang unsur kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.

Contohnya:

Delik kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 (yang diketahui) dll

Delik culpa: 334 (karena kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).

Gabungan (ganda): 418, 480 dll

 

4.      Berdasarkan macam perbuatannya: Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)

Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.

Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban Hukoem  untuk berbuat tertentu, yang apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban Hukoem nya. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat disebut juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban Hukoem . Misalnya pada pembunuhan 338 (sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu di sebabkan karna seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban Hukoem nya harus ia perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, seperti seorang ibu tidak mnyusui anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan pasif.

Contohnya:

Delik Aktif:  338, 351, 353, 362 dll.

Delik Pasif:  224, 304, 338 (pada ibu menyusui), 522.

 

5.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna.

Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung lama disebut juga dengan voortderende delicten. Seperti pasal (333), perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.

Contohnya:

Delik terjadi seketika: 362,338 dll.

Delik berlangsung terus: 329, 330, 331, 333 dll.

 

6.      Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus

Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh tindak pidana khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.

Contohnya:

Delik umum: KUHP.

Delik khusus: UU No. 31 th 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.

 

7.      Dilihat dari sudut subjek Hukoem nya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia) yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.

Jika dilihat dari sudut subjek Hukoem nya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia ) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).

Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja.

Contohnya:                                            

Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll.

Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.

8.      Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan: maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan ( klacht delicten).

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana  disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.

Contohnya:

Delik biasa: pembunuhan (338) dll.

Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dll.

9.      Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

Tindak pidana yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

10.  Berdasarkan kepentingan Hukoem  yang dilindungi: Maka tindak pidana terbatas macamnya bergantung dari kepentingan Hukoem  yang dilindungi

seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsusan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya

 

11.  Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enklevoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten)

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP (Penadahan). Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana bersusun adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang rombengan/loak.

C.      Subjek Tindak Pidana

Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam Hukoem  pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.

Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai berikut.

 

1.              Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.

2.              Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.

3.              Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.

4.              Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.

5.              Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.

Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1.      Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain  selain dari pada “orang”.

2.      Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :

1)      pidana pokok :

a)      pidana mati

b)      pidana penjara

c)      pidana kurungan

d)      pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan

2)      pidana tambahan :

a)      pencabutan hak-hak tertentu

b)      perampasan barang-barang tertentu

c)      dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.

3.      Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari Hukoem  pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.

4.      Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.

Menurut asas-asas Hukoem  pidana Indonesia, badan Hukoem  tidak dapat mewujudkan tindak pidana. Hoofgerechtshof van N.I. dahulu di dalam arrestnya tanggal 5 Agustus 1925 (jonkers. 1946: 11) menegaskan dengan alasan bahwa Hukoem  pidana Indonesia dibentuk berdasarkan ajaran kesalahan Individual. Sistem Hukoem  pidana Indonesia tidak memungkinkan penjatuhan pidana denda kepada koorporasi, oleh karena pihak yang dijatuhi pidana denda diberikan pilihan untuk menggantinya dengan pidana kurungan atau pengganti dengan denda (pasal 30 (1), (2), (3) dan (4) KUHP).

 

BAB IV

PENUTUP

A.     Kesimpulan

menurut kami, kasus pencurian dengan kekerasan ini  tergolong pada Tindakn pidana berkualifikasi dan formil, karena tindak pidana ini terjadi karena adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP pasal 362 dan 365 ayat (1) dan (2) ). Pada kasus pencurian dasar (Pokok), pelaku dapat dituntut maksimal Hukoem an penjara lima tahun, akan tetapi pada kasus pencurian ini pelaku melakukan tindakan kekerasan kepada pemilik rumah sehingga keenam pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan Hukoem an penjara maksimal dua belas tahun. Para pelaku pada kasus di atas dianggap cakap Hukoem , sadar akan perbuatannya yang melawan Hukoem  dan bertanggungjawab penuh terhadap perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukoem an yang tepat diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan yurisprudensi pada kasus ini.

 

B.      Saran

Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abidin, Zainal. 2007, Hukoem  Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.

 

Chazawi, Adami. 2002,  Pelajaran Hukoem  Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

C.S.T. Kansil dan Christine. 2007, Pokok-Pokok Hukoem  Pidana, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

 

Huda Chairul. 2006, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana.

 

Prasetyo Teguh. 2011, Hukoem  Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

R. Soesilo. 1991, KITAB UNDANG-UNDANG HUKOEM  PIDANA(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea.

 

R. Sugandhi, 1980,  KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasion

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar