Hukoem adalah sebuah aturan
mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan Hukoem itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam
kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat
sosial juga tidak terlepas dengan adanya Hukoem yang mengatur. Dalam Hukoem dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar
dalam ilmu Hukoem pidana, Perbuatan
pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai
bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya,
seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan
sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka
perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat
dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan
baik individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi
batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan Hukoem an karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori
yang diajarkan dalam ilmu Hukoem pidana
latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam
diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri
pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan
membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak
pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.
1. Bagaimana
cara merumuskan perbuatan pidana?
2. Sebutkan
jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa
saja subjek tindak pidana ?
1. Ingin
memahami cara merumuskan perbuatan pidana;
2. Ingin
mengetahui jenis-jenis tindak pidana;
3. Ingin
mengetahui subjek tindak pidana.
A. Cara
Merumuskan Perbuatan Pidana
Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain.
Tindak pidana dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan
bahwa di bidang Hukoem pidana kepastian
Hukoem atau lex certa merupakan
hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat
1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu
masih diperlukan penafsiran.
Dalam Hukoem pidana
Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana
umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan
dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.
Dalam buku II dan III KUHP
Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan perbuatan
pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan Hukoem yang dilarang atau yang diperintahkan untuk
dilakukan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau tidak
menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang
dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin
yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut
jonkers (terjemahan Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau
menguraikannya, misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP.
Cara yang kedua ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur
perbuatan pidana, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik
itu, misalnya pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP),
penggelapan (pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah
pasal undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa uraian
unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delikd diserahkan kepada
yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan perdagangan
laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania (pasal 351
KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut, menurut
teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “ menimbulkan mestapa
atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada orang lain.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak
pidana :
1. Dari Sudut Cara Pencantuman
Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka
dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a. Mencantumkan Unsur
Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana
Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara
ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk
pokok/standard, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur
subyektif, misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan),
372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk
standard diatas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna
demikian dengan kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).
Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur
yang membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini
dapat dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan
tindak pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus
dibuktikan dalam persidangan.
b. Mencantumkan Semua Unsur
Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak
pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa
menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi
kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri
kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu
(220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai
negri (415).
c. Mencantumkan
Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling
sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat
dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang
sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada
kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat
yakni, penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
2. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula
antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan
cara materiil (pada tindak pidana materiil).
a. Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan
tindak pidana formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam
rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu.
Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan
yang melawan Hukoem tertentu. Apabila
dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu
selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada
akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan Hukoem tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan
kelakuan yang dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya
kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana
seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “ adanya
maksud pengambilan untuk memilikunya dengan melawan Hukoem ”.
Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur melawan Hukoem yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan
barang itu diarahkan ke perbuatan melawan Hukoem , sehingga menjadi unsur objektif
bagi para sarjana Hukoem yang
berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan unsur actus reus, criminal
act, perbuatan kriminal bagi yang perpendapat dualisasi terhadap tindak
pidana.
b. Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan
tindakan pidan materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan
cara materiil maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya
menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut,
sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi persoalan.
Dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal
338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa
orang lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu
idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk
selesinya perbuatan pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan,
akan tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya
telah timbul apa belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya
belum timbul, maka perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah
percobaannya.
3. Dari Sudut Pembedaan Tindak
Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan Yang Lebih Ringan
a. Perumusan Dalam Bentuk
Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan
perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang
diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat
dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam
bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara
sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan
demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari
tindak pidana itu. Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang
Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari
perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang
kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok
(misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363,
365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau
diperberatnya perbuatan pidana itu.
Cara yang demikian dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan
pidana prinsip penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap
harus dipegang teguh.
Tindak pidana dapat
dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1. Menurut sistem KUHP
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal
kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu,
a. Kejahatan (crims)
b. Perbuatan buruk (delict)
c. Pelanggaran (contravenrions)
Menurut KUHP yang
berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu “misdrijf”
( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan
ketentuan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya
menentukan semua yang terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua
yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran.
2. Menurut cara merumuskannya:
Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil (formeel delicten)
dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
Tindak pidana formil itu
adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160
KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan
kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP);
penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat
(pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Tindak pidana materiil
adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak
dikehendaki (dilarang). tindak pidana ini baru selesai apabila akibat
yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya
ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP),
pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam
misalnya pasal 362.
3. Berdasarkan bentuk
kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten)
dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak
pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur
kesengajaan. Sementara itu tindak pidana tidak sengaja (culpose
delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur
kealpaan yang unsur kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak
karena kesengajaan.
Contohnya:
Delik kesengajaan: 362
(maksud), 338 (sengaja), 480 (yang diketahui) dll
Delik culpa: 334
(karena kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).
Gabungan (ganda): 418,
480 dll
4. Berdasarkan macam
perbuatannya: Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga
disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana
pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah tindak pidana
yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut
perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan
adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Perbuatan aktif ini
terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun
materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak
pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada
suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani
kewajiban Hukoem untuk berbuat tertentu,
yang apabila tidak dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban
Hukoem nya. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini
dapat disebut juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban Hukoem . Misalnya
pada pembunuhan 338 (sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat
matinya itu di sebabkan karna seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban Hukoem nya
harus ia perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, seperti seorang ibu tidak
mnyusui anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara
perbuatan pasif.
Contohnya:
Delik Aktif: 338, 351, 353, 362 dll.
Delik Pasif: 224, 304, 338 (pada ibu
menyusui), 522.
5. Berdasarkan saat dan jangka
waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika
dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung
terus.
Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika disebut juga
dengan aflopende delicten. Misalnya pencurian (362), jika
perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara
sempurna.
Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung lama disebut
juga dengan voortderende delicten. Seperti pasal (333),
perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan akan
terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
Contohnya:
Delik terjadi seketika:
362,338 dll.
Delik berlangsung terus:
329, 330, 331, 333 dll.
6. Berdasarkan sumbernya: Dapat
dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh
setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh tindak
pidana khusus adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan
yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
Contohnya:
Delik umum: KUHP.
Delik khusus: UU No. 31
th 1999 tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika,
dll.
7. Dilihat dari sudut subjek Hukoem
nya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia)
yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat dilakukan
hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.
Jika dilihat dari sudut subjek Hukoem nya, tindak pidana itu dapat
dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delictacommunia )
dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu
(delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan
tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contohnya:
Delik communia:
pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll.
Delik propria: pegawai
negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.
8. Berdasarkan perlu tidaknya
pengaduan dalam hal penuntutan: maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone
delicten) dan tindak pidana aduan ( klacht delicten).
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya
penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak. Sedangkan
delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan
pidana disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Contohnya:
Delik biasa: pembunuhan
(338) dll.
Delik aduan: pencemaran
(310), fitnah (311), dll.
9. Berdasarkan berat dan
ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana
bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde
delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)
Tindak pidana yang ada
pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya
orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal
363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini
disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351
KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
10. Berdasarkan kepentingan Hukoem yang dilindungi: Maka tindak pidana terbatas
macamnya bergantung dari kepentingan Hukoem yang dilindungi
seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta
benda, tindak pidana pemalsusan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap
kesusilaan dan lain sebagainya
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi
suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enklevoudige
delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten)
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang terdiri atas satu
perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480 KUHP (Penadahan).
Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana bersusun adalah delik yang terdiri
atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481 KUHP : kebiasaan
menyimpan barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte
delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh
tukang rombengan/loak.
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan,
pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan
tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang
tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Selanjutnya, dalam pidana
dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming). Konsep penyertaan
ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau
melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep
pertanggung jawaban pidana, dalam Hukoem pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak
pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima
bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai berikut.
1. Mereka yang melakukan (dader). Satu orang
atau lebih yang melakukan tindak pidana.
2. Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam
bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung
suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
3. Mereka yang turut serta (medeplegen).
Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga
mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
4. Penggerakan (uitlokking). Penggerakan
atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain
melakukan perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan sesuatu, dengan ancaman
kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta
pemberian kesempatan,sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
5. Pembantuan (medeplichtigheid). Pada
pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang
akan ia bantu.
Sebagaimana diuraikan
terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada
dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen).
Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan
delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain selain dari
pada “orang”.
2. Dalam
pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1) pidana
pokok :
a) pidana
mati
b) pidana
penjara
c) pidana
kurungan
d) pidana
denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2) pidana
tambahan :
a) pencabutan
hak-hak tertentu
b) perampasan
barang-barang tertentu
c) dimumkannya
keputusan hakim
Sifat dari pidana
tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan
pada manusia.
3. Dalam
pemeriksaan perkara dan juga sifat dari Hukoem pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan
pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
4. Pengertian
kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam
batin manusia.
Menurut asas-asas Hukoem
pidana Indonesia, badan Hukoem tidak dapat mewujudkan tindak pidana.
Hoofgerechtshof van N.I. dahulu di dalam arrestnya tanggal 5
Agustus 1925 (jonkers. 1946: 11) menegaskan dengan alasan bahwa Hukoem pidana Indonesia dibentuk berdasarkan ajaran
kesalahan Individual. Sistem Hukoem pidana Indonesia tidak memungkinkan penjatuhan
pidana denda kepada koorporasi, oleh karena pihak yang dijatuhi pidana denda
diberikan pilihan untuk menggantinya dengan pidana kurungan atau pengganti
dengan denda (pasal 30 (1), (2), (3) dan (4) KUHP).
menurut kami, kasus pencurian dengan kekerasan
ini tergolong pada Tindakn pidana berkualifikasi dan formil, karena
tindak pidana ini terjadi karena adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat
dalam undang – undang (KUHP pasal 362 dan 365 ayat (1) dan (2) ). Pada kasus
pencurian dasar (Pokok), pelaku dapat dituntut maksimal Hukoem an penjara lima
tahun, akan tetapi pada kasus pencurian ini pelaku melakukan tindakan kekerasan
kepada pemilik rumah sehingga keenam pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan
Hukoem an penjara maksimal dua belas tahun. Para pelaku pada kasus di atas
dianggap cakap Hukoem , sadar akan perbuatannya yang melawan Hukoem dan bertanggungjawab penuh terhadap
perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukoem an yang
tepat diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP,
akan disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan yurisprudensi pada kasus ini.
Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Abidin, Zainal.
2007, Hukoem Pidana I, Jakarta:
Sinar Grafika.
Chazawi, Adami.
2002, Pelajaran Hukoem Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
C.S.T. Kansil dan
Christine. 2007, Pokok-Pokok Hukoem Pidana, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Huda Chairul.
2006, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana.
Prasetyo Teguh.
2011, Hukoem Pidana, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
R. Soesilo. 1991, KITAB
UNDANG-UNDANG HUKOEM PIDANA(KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea.
R. Sugandhi,
1980, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar