Jumat, 13 Januari 2017

makalah perbuatan melawan hukum



BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1  Latar belakang

Perbuatan melawan Hukoem  memiliki  ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan  dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan Hukoem  tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan Hukoem  yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan Hukoem  bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

“Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas.

I.2  Rumusan masalah

1.      Apa itu perbuatan melawan Hukoem ?

2.      Bagaimana syarat-syarat dan unsur perbuatan melawan Hukoem ?

3.      Bagaimana pertanggung jawaban perbuatan mealawan Hukoem ?

4.      Bagaimana konsekuensi yuridis dalam hal timbulnya perbuatan melawan Hukoem ?

I.3  Tujuan penulisan

1.      Ingin mengetahui apa itu perbuatan melawan Hukoem .

2.      Ingin mengetahui syarat-syarat dan unsur perbuatan melawan Hukoem .

3.      Ingin mengetahui pertanggung jawaban perbuatan mealawan Hukoem .

4.      Ingin mengetahui konsekuensiyuridis dalam hal timbulnya perbuatan melawan Hukoem .

BAB II

PEMBAHASAN

 

II.1  Pengertian perbuatan melawan Hukoem

perbuatan melawan Hukoem  adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat Hukoem  terhadap perbuatan melawan Hukoem .

Perbuatan melawan Hukoem  dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort.  Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti  salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang Hukoem , kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan Hukoem  disebut onrechmatige daad dalam sistem Hukoem  Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya.  Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).  Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem Hukoem  yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan Hukoem  ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan Hukoem  adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya).

Onrechtmatigedaad (perbuatan melawan Hukoem ), pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata atau Pasal 1401 KUHPerdata, yang menetapkan:

“Elke onrecthamatigedaad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt, stelt dengene door wiens shuld die schade veroorzaakt is in de verpligting om dezelve te vergoeden”.

Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:

“Tiap perbuatan melawan Hukoem , yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Para pihak yang melakukan perbuatan Hukoem  itu disebut sebagai subjek Hukoem  yaitu bias manusia sebagai subjek Hukoem  dan juga badan Hukoem  sebagai subjek Hukoem .

Semula, banyak pihak meragukan, apakah perbuatan melawan Hukoem  memang merupakan suatu bidang Hukoem  tersendiri atau hanya merupakan keranjang sampah, yakni merupakan kumpulan pengertian-pengertian Hukoem  yang berserak-serakan dan tidak masuk ke salah satu bidang Hukoem  yang sudah ada, yang berkenaan dengan kesalahan dalam bidang Hukoem  perdata. Baru pada pertengahan abad ke 19 perbuatan melawan Hukoem , mulai diperhitungkan sebagai suatu bidang Hukoem  tersendiri, baik di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya di Belanda dengan istilah Onrechmatige Daad, ataupun di negara-negara Anglo Saxon, yang dikenal dengan istilah tort.

Perbuatan Melawan Hukoem  diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata.  Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan Hukoem  yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan Hukoem  dalam KUH Perdata berasal dari Code Napoleon.

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar Hukoem  adalah perbuatan yang melawan Hukoem  yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

       Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar Hukoem , yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Istilah “melanggar” menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.

Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan.

       Ketentuan dalam Pasal 1365  BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu:

“Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.”

Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan Hukoem  tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga  mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”.

 Dilihat dari sejarahnya maka pandangan-pandangan mengenai perbuatan melawan Hukoem  selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukoem ”, perbuatan melawan Hukoem  dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas.

II.2  Syarat-syarat dan unsur perbuatan melawan Hukoem

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan Hukoem  harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1.     Ada Suatu Perbuatan

Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan melawan Hukoem  yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban Hukoem  untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari Hukoem . (ada pula kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Dalam perbuatan melawan Hukoem  ini , harus tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat serta tidak ada pula unsur kausa yang diperberbolehkan seperti yang terdapat dalarn suatu perjanjian kontrak.

2. Perbuatan Itu Melawan Hukoem

       Perbuatan yang dilakukan itu, harus melawan Hukoem . Sejak tahun 1919, unsur melawan Hukoem  diartikan dalam arti seluas-luasnya. Menurut Standaard Arest Tahun 1919, berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan Hukoem  jika:

a. Perbuatan melanggar undang-undang

b. Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi Hukoem

       Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUHPerdata. Hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh Hukoem , termasuk tetapi tidak terbatas pada hak-hak sebagai berikut:

·     Hak-hak Pribadi

·     Hak-hak Kekayaan

·     Hak-hak Kebebasan

·     Hak atas Kehormatan dan Nama Baik

       Yang dimaksud dengan melanggar hak orang lain adalah melanggar hak subjektif orang lain, yaitu wewenang khusus yang diberikan oleh Hukoem  kepada seseorang untuk digunakan bagi kepentingannya. Menurut Meyers dalam bukunya “Algemene Begrippen”  mengemukakan:

“Hak subjektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh Hukoem  kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya.”

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban Hukoem  si pelaku

Perbuatan ini juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan Hukoem  jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban Hukoem  dari pelakunya. Istilah “kewajiban Hukoem  ini yang dimaksudkan  adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh Hukoem  terhadap seseorang, baik Hukoem  tertulis maupun Hukoem  tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan Hukoem  tertulis melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang-undang karena itu pula istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan Hukoem  adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad.

d. Perbuatan yang bertentangan kesusilaan (geode zeden ).

       Dapat dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma Hukoem . Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai Hukoem  tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan Hukoem , manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka berdasarkan atas perbuatan melawan Hukoem . Dalam putusan terkenal Lindebaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan melawan Hukoem .

e. Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu-lintas masyarakat terhadap diri atau barang oranglain.

        Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan Hukoem . Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari Hukoem  tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan Hukoem , karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.

        Pada garis besarnya dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika:

§  Perbuatan tersebut dangat merugikan orang lain

§  Perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut menusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan.

3. Ada Kesalahan dari Pelaku

       Jika dilihat kembali dalam Pasal 1365 KUHPerdata terdapat dua faktor penting dari perbuatan melawan Hukoem , yaitu adanya factor kesalahan dan kerugian. Kesalahan adalah perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri si pelaku. Menurut Asser’s ia tetap pada pendirian untuk memberikan pengertian atas istilah kesalahan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan si pelaku.

“Dalam Hukoem  pidana telah diterima asas tidak dipidana tanpa kesalahan. Sedang dalam Hukoem  perdata asas tersebut dapat diuraikan: tidak ada pertanggung jawaban untuk akibat-akibat dari perbuatan Hukoem  tanpa kesalahan.”

       Kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi dari perbuatannya yang salah. Si  Pelaku adalah bertanggung jawab untuk kerugian tersebut apabila perbuatan melawan Hukoem  yang dilakukan dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

       Syarat kesalahan ini dapat diukur secara  objektif dan subjektif. Secara objektif yaitu harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subjekif, harus diteliti apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akibat dari perbuatannya.

       Pasal 1365 KUHPerdata kesalahan dinyatakan sebagai pengertian umum, dapat mencakup kesengajaan maupun kelalaian. Menurut H.F Vollmar, bahwa untuk adanya kesalahan ada pertanyaan sebagai berikut:

·     Kesalahan dalam arti subjektif atau abstrak, yaitu apakah orang yang bersangkutan umumnya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu?

·     Kesalahan dalam arti objektif atau konkrit, yaitu apakah ada keadaan memaksa (overmacht) atau keadaan darurat (noodoestand). Dalam hal ini orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya namun karena ada keadaan memaksa maka tidak ada kesalahan.

       Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan Hukoem  sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dan melakukan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggungjawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia. Bilamana dalam hal-hal tertentu berlaku tanggungjawab tanpa kesalahan (strict ZiabiZity), hal demikian bukan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia.  Karena Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan Hukoem  harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana cakupan unsur kesalahan itu.

        Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban Hukoem , jika memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:

1.      Ada unsur kesengajaan

2.      Ada unsur kelalaian (negligence, culpa)

3.      Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.

       Perlu atau tidak, perbuatan melawan Hukoem  mesti ada unsur kesalahan, selain unsur melawan Hukoem  , di sini terdapat 3 (tiga) aliran teori sebagai berikut:

a. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur melawan Hukoem .

        Aliran ini menyatakan, dengan unsur melawan Hukoem  dalam arti luas, sudah mencakup unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi ada unsur kesalahan dalam perbuatan melawan Hukoem . Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Oven.

b. Aliran yang menyatakan cukup hanya ada unsur kesalahan

       Aliran ini sebaliknya menyatakan, dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan Hukoem . Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever.

c. Aliran yang menyatakan, diperlukan unsur melawan Hukoem  dan unsur kesalahan.

       Aliran ini mengajarkan, suatu perbuatan melawan Hukoem  mesti ada unsur perbuatan melawan Hukoem  dan unsur kesalahan, karena unsur melawan Hukoem  saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Meyers. Kesalahan yang diharuskan dalam perbuatan melawan Hukoem  adalah kesalahan dalam arti ” kesalahan Hukoem  ” dan ” kesalahan sosial “. Dalam hal ini, Hukoem  menafsirkan kesalahan itu sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yaitu sikap yang biasa dan normal dalam pergaulan masyarakat. Sikap demikian, kemudian mengkristal yang disebut manusia yang normal dan wajar (reasonable man).

4. Ada Kerugian Korban

        Ada kerugian (schade) bagi korban merupakan unsur perbuatan melawan Hukoem  sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata Indonesia. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan Hukoem  dapat berupa :

a. Kerugian materiil.

Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan Hukoem  harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.

b. Kerugian immaterial/idiil.

Perbuatan melawan Hukoem  pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat immaterial/idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

       Pengganti kerugian karena perbuatan melawan Hukoem  tidak diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu aturan yang dipakai untuk ganti rugi ini adalah dengan cara analogis. Mengenai hal ini mempergunakan peraturan ganti rugi akibat ingkar janji yang diatur dalam Pasal 1243-1252 KUHPerdata di samping itu, pemulihan kembali ke keadaan semula.

       Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan Hukoem . Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.

       Dalam gugatan atau tuntutan berdasarkan alasan Hukoem  wanprestasi berbeda dengan gugatan berdasarkan perbuatan melawan Hukoem . Gugatan berdasarkan wanprestasi hanya mengenal kerugian materil, sedangkan dalam gugatan perbuatan melawan Hukoem  selain mengandung kerugian materil juga mengandung kerugian imateril, yang dinilai dengan uang.

        Gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan Hukoem :

o    dapat berupa uang (dapat dengan uang pemaksa)

o    memulihkan dalam keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa)

o    larangan untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi (dapat dengan uang pemaksa)

o    dapat meminta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan Hukoem .

o    Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian.

       Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi, merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan Hukoem . Untuk hubungan sebab akibat ada 2 macam teori, yaitu:

a. Teori Hubungan Faktual

       Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri, seorang ahli Hukoem  Eropa Kontinental yang merupakan pendukung teori faktual ini. menyatakan:

“suatu hal adalah sebab dari akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi bila sebab itu tidak ada.”

       Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan Hukoem  selalu bertanggungjawab, jika perbuatan Condition Sine Qua Non menimbulkan kerugian.

       Hubungan sebab akibat secara faktual (caution in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian adalah penyebab faktual. Dalam perbuatan melawan Hukoem , sebab akibat jenis ini sering disebut Hukoem  mengenai ” but for ” atau ” sine qua non ” .

b. Teori Adequate Veroorzaking.

        Teori Adequate Veroorzaking dari Van Kries, menyatakan:

“Suatu hal adalah sebab dari suatu akibat bila menurut pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.”

       Menurut teori ini orang  yang melakukan perbuatan melawan Hukoem  hanya bertanggungawab untuk kerugian, yang selayaknya diharapkan sebagai akibat dari perbuatan melawan Hukoem .

       Menurut Vollmar:

“Terdapat hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan Hukoem ”

Perbuatan melawan Hukoem  juga terdapat dalam sengketa tanah, dalam hal ini jika ada pihak yang melanggar hak orang lain misalnya saja menempati tanah tanpa ijin pemiliknya apalagi sampai membangun rumah dan menyewakan rumah tersebut pada orang lain, maka pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan di pengadilan untuk objek sengketa tersebut.

c. Teori Sebab Kira-kira (proximately cause ).

Teori ini, adalah bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan mengenai perbuatan melawan Hukoem  ini. Kadang-kadang teori ini disebut juga teori legal cause, penulis berpendapat , semakin banyak orang mengtahui Hukoem , maka perbuatan melawan Hukoem  akan Semakin berkurang. Mencegah melakukan perbuatan melawan Hukoem , jauh lebih baik daripada menerima sanksi Hukoem .

II.3  Pertanggungjawaban perbuatan melawan Hukoem

Hukoem  mengakui hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun mengenai hak-hak kebendaan dan Hukoem  akan melindungi dengan sanksi tegas baik bagi pihak yang melanggar hak tersebut, yaitu engan tanggungjawab membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Dengan demikian setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain menimbulkan pertanggungjwaban.

       Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan :

“ Tiap perbuatan melanggar Hukoem  yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan :

“ Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.

       Ketentuan pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan Hukoem  baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan pasal 1366 KUH Perdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).

       Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan Hukoem  harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :

1.      Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan Hukoem  itu dilakukan dengan sengaja.

2.      Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya

       Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata membagi masalah pertanggungjawaban terhadap peruatan melawan Hukoem  menjadi 2 golongan, yaitu:

1.      Tanggung jawab langsung

       Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dengan adanya interprestasi yang luas sejak tahun 1919 (Arest Lindenbaun vs Cohen) dari Pasal 1365 KUHPerdata ini, maka banyak hal-hal yang dulunya tidak dapat dituntut atau dikenakan sanksi atau Hukoem an, kini terhadap pelaku dapat dimintakan pertanggung jawaban untuk membayar ganti rugi.

2. Tanggung jawab tidak langsung

       Menurut Pasal 1367 KUHPerdata, seorang subjek Hukoem  tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan melawan Hukoem  yang dilakukannya saja, tetapi juga untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungan dan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

       Tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan Hukoem  dalam Hukoem  perdata, pertanggung jawabannya selain terletak pada pelakunya endiri juga dapat dialihkan pada pihak lain atu kepada negara, tergantung siapa yang melakukannya.

       Adanya kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut disebabkan oleh dua hal:

1.      Perihal pengawasan

       Adakalanya seorang dalam pergaulan hidup bermasyarakat menurut Hukoem  berada di bawah tanggung jawab dan pengawasan orang lain. Adapun orang-orang yang bertanggung jawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain menurut Pasal 1367 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

·         Orang tua atau wali, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa

·         Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap curandus

·         Guru, bertanggung jawab atas pengawasan murid sekolah yang berada dalam lingkungan pengajarannya.

·         Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap buruhnya

·         Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas pengawasan terhadap pesuruhnya.

       Terkait dengan hal ini pengawasan dapat dianggap mempunyai untuk menjaga agar jangan sampai seorang yang diwasi itu melakukan perbuatan melawan Hukoem .  Pengawas itu harus turut berusaha menghindarkan kegoncangan dalam msyarakat, yang mungkin akan disebabkan oleh tingkat laku orang yang diawasinya.

2. Pemberian kuasa dengan risiko ekonomi

       Sering terjadi suatu pertinbangan tentang dirasakannya adil dan patut untuk mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatan orang lain, terletak pada soal perekonomian, yaitu jika pada kenyataannya orang yang melakukan perbuatan melawan Hukoem  itu ekonominya tidak begitu kuat. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa percuma saja jika orang tersebut dipertanggungjawabkan, karena kekayaan harta bendanya tidak cukup untuk menutupi kerugian yang disebabkan olehnya dan yang diderita oleh orang lain. Sehingga dalam hal ini yang mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah orang lain yang dianggap lebih mampu untuk bertanggung jawab.

II.4  konsekuensi yuridis dalam hal perbuatan melawan Hukoem

       Akibat perbuatan melawan Hukoem  diatur pada Pasal  1365 KUH Perdata sampai dengan 1367 KUHPerdata sebagai berikut:

1.      Menurut Pasal 1365 KUHPerdata dikutip bunyinya:

“Tiap perbuatan melanggar Hukoem , yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian”.

2. Pasal 1366 KUHPerdata, menyebutkan:

“Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang diesbabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

3. Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:

“Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya … dst”.

       Berdasarkan kutipan pasal tersebut di atas, secara umum memberikan gambaran mengenai batasan ruang lingkup akibat dari suatu perbuatan melawan Hukoem . Akibat perbuatan melawan Hukoem  secara yuridis mempunyai konsekuensi terhadap pelaku maupun orang-orang yang mempunyai hubungan Hukoem  dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melawan Hukoem . Jadi, akibat yang timbul dari suatu perbuatan melawan Hukoem  akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terehadap korban yang mengalami.

       Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan Hukoem , sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lazimnya, dalam praktik penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan Hukoem  pelaku.

       Jika mencermati perumusan ketentuan pasla 1365 KUHPerdata, secara limitatif menganut asas Hukoem  bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan Hukoem  bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka di pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio menetapkan penggantian kerugian meskipun pihak korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan.

       Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan Hukoem  diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan Hukoem  dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan Hukoem  dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.

       Masyarakat berhak untuk mengajukan tuntutan-tuntutan apabila mereka mengalami kerugian akibat perbuatan melawan Hukoem . Untuk mengembalikan pada keadaan semula yang berimbang, maka terhadap pelaku dikenakan suatu Hukoem an dari yang ringan sampai yang berat yang dituntut oleh korban.

       Pada Hukoem  perikatan, khususnya Hukoem  perjanjian, ganti rugi umumnya terdiri dari 3 hal yaitu biaya, rugi, dan bunga. Pada setiap kasus tidak selamanya ketiga unsure tersebut selalu ada, tetapi ada kalanya hanya terdiri dari 2 unsur saja.

       Dalam Hukoem  Perbuatan Melawan Hukoem , Wirjono Prodjodikoro menyatakan, jika dilihat bunyi Pasal 57 ayat (7) Reglement burgerlijk Rechrvordering (Hukoem  Acara Perdata berlaku  pada waktu dulu bagi Raad van Justitie) yang juga memakai istilah Kosten schaden en interesen untuk menyebut kerugian sebagai perbuatan melanggar Hukoem , sehingga dapat dianggap sebagai pembuat Burgerlijk Wetboek sebetulnya tidak membedakan antara kerugian yang disebabkan perbuatan melanggar Hukoem  dengan kerugian yang disebabkan tidak dilaksanakannya suatu perjanjian. Sehingga dalam kaitannya dengan perbuatan melawan Hukoem , ketentuan yang sama dapat dijadikan sebagai pedoman.

       Pasal 1365 KUHPerdata memberikan beberapa jenis penuntutan, yaitu:

1.      ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang

2.      ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura  atau pengembalian pada keadaan semula

3.      pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan Hukoem

4.      larangan untuk melakukan suatu perbuatan

5.      meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan Hukoem

6.      pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.

       Ketentuan mengenai ganti rugi dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitor yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

       Ganti rugi menurut Pasal 1246 KUHPerdata memperincikan ke dalam 3 kategori yaitu:

1.  biaya, artinya setiap cost  yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi.

2.  Kerugian, artinya keadaan merosotnya (berkurangnya) nilai kekayaan Kreditor sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi dari pihak Debitor.

3.  Bunga, adalah keuntungan yang seharusnys diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak Kreditor, dikarenakan adanya tindakan wanprestasi dari pihak Kreditor.

       Terkait dengan hal ini, pasal-pasal ganti rugi karena wanprestasi tidak dapat begitu saja diberlakukan terhadap perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan Hukoem . Hal ini disebabkan karena ada penilaian terhadap ukuran penggantian itu sukar untuk ditetapkan.

       Ketentuan yang mengatur tentang ganti rugi karena wanprestasi dapat diperlakukan sebagian secara analogis, terhadap ganti rugi karena perbuatan melanggar Hukoem . Misalnya apabila seorang pelaku melanggar Hukoem  menolak  membayar seluruh jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan oleh hakim yang telah mempunyai kekuatan Hukoem  tetap. Pelaku bergutang bunga sejak diputus oleh pengadilan.

       Di samping itu ada ketentuan ganti rugi karena wanprestasi yang tidak dapat diberlakukan terhadap ganti rugi karena perbuatan melawan Hukoem , yakni Pasal 1247 sampai Pasal 1250 KUHPerdata, oleh karena:

1.  Pasal 1247 KUHPerdata mengenai perbuatan perikatan berarti perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan Hukoem  bukan merupakan perikatan yang lahir karena persetujuan.

2.  Pasal 1250 KUHPerdata membebakan pembayaran bunga tasa penggantian biaya, rugi, dan bunga dalam hal terjadinya keterlambatan pembayaran sejumlah uang sedangkan yang dialami dalam perbuatan melawan Hukoem  tidak mungkin disebabkan karena tidak dilakukannya pembayaran sejumlah uang yang tidak tepat pada waktunya.

       Jadi dalam hal ganti rugi karena perbuatan melawan Hukoem , Penggugat berdasarkan gugatannya pada Pasal 1365 KUHPerdata tidak dapat mengharapkan besarnya kerugian. Kerugian ini ditentukan oleh hakim dengan mengacu pada putusan terdahulu (Yurisprudensi).

       Kerugian yang timbul karena adanya perbuatan melawan Hukoem  menyebabkan adanya pembebanan kewajiban kepada pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada penderita adalah sedapat mungkin mengembalikan ke keadaan semula yakni sebelum terjadinya perbuatan melawan Hukoem , maka menurut undang-undang dan yurisprudensi dikenal berbagai macam penggantian kerugian yang dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata oleh penderita, sebagai upaya untuk mengganti kerugian maupun pemulihan kehormatan.

        Macam kerugian tersebut yaitu:

1.      ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan

2.      ganti kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadan semula

3.      pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan Hukoem

4.      dilarang dilakukannya suatu perbuatan

5.      pengumuman dalam putusan hakim.


 

BAB III

KESIMPULAN

 

III.1  KESIMPULAN

Perbuatan Melawan  Hukoem   di  Indonesia  secara  normatif  selalu  merujuk  pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata rumusan  norma  dalam  pasal  ini  unik,  tidak  seperti ketentuan ketentuan  pasal  lainnya.  Perumusan  norma  Pasal  1365  KUH Perdata  lebih merupakan  struktur  norma  daripada  substansi  ketentuan  Hukoem   yang  sudah  lenkap. Oleh  karenanya  substansi  ketentuan  Pasal  1365  KUH Perdata  senantiasa  memerlukan materialisasi  di  luar  KUH Perdata. Oleh  karena  itu  perbuatan  melawan  Hukoem  berkembang  melalui  putusan-putusan  pengadilan  dan  melalui  undang-undang. Perbuatan  Melawan  Hukoem   dalam  KUH Perdata diatur  dalam  buku  III  tentang Perikatan.  Perbuatan melawan  Hukoem   Indonesia  yang  berasal  dari Eropa Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdt. sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdt. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan Hukoem . Perbuatan melawan Hukoem  dalam Pasal 1365 KUHPerdt. pada awalnya memang mengandung  pengertian  yang  sempit  sebagai  pengaruh  dari  ajaran  legisme.  Hal ini sebenarnya bertentangan dengan doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana pada waktu itu, antara lain Molengraaff yang menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukoem  tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan.

III.2 SARAN

Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


 

DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukoem , Alumni, Bandung, 1982,

www.progresifjaya.com/NewsPage.php?, diakses pada tanggal 7 Juni 2011 pukul 18.30 WIB.

R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukoem  Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992,.

MA. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukoem , Pradnya Paramita, Jakarta, 1982,

Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukoem  dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 16 Tahun II (Januari 1987):

Munir Fuady, Hukoem  Kontrak (dari sudut pandang Hukoem  bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Vollmar, Pengantar Studi Hukoem  Perdata, C.V. Rajawali, Jakarta, 1984.

Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukoem  Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1999.

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukoem  Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukoem , Sumur Bandung, Jakarta, 1984.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukoem  Perdata, Alumni, Bandung, 2006.

Munir Fuady, Hukoem  Kontrak (dari sudut pandang Hukoem  bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Eva Novianty, Analisa Ekonomi, FH UI, Jakarta, 2011.

 

 

 


1 komentar: