Jumat, 13 Januari 2017

makalah politik hukum pidana



BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis) maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut, karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain.

Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional, antara lain dinyatakan di dalam :

a.       Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah dinyatakan, bahwa tidak diragukan lagi kejahatan telah membawa akibat-akibat sebagai berikut :

1)        Mengganggu atau merintangi tercapainya tujuan nasional;

2)        Mencegah penggunaan optimal sumber-sumber nasional.

b.      Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan :

“Bahwa fenomena kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material, membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.

Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan, dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan.

Salah satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama ini bahkan merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri, ialah menggunakan Hukoem  pidana dengan sanksinya berupa pidana. Beberapa alasan penggunaan Hukoem  pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh :

a.       Roeslan Saleh, menyatakan :

1)      Perlu tidaknya Hukoem  pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan dalam dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;

2)      Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terHukoem  dan disamping itu harus ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;

3)      Pengaruh pidana atau Hukoem  pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

b.      H.L. Packer, menyatakan :

1)      Sanksi pidana sangatlah dipelukan : kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana;

2)      Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu;

3)      Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancaman yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat dan digunakan secara manusiawi. Sebaliknya ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

c.       Marc Ancel, menyatakan :

Sistem Hukoem  pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap sipelanggar dalam hubungannya dengan Hukoem  secara murni dan pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan.

d.      Muladi, menyatakan :

Hukoem  pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.

Pengguna Hukoem  pidana dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare), baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai dampak penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial, dan sebagainya

Dengan kata lain, dalam kenyataannya Hukoem  pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan Hukoem  pidana dalam menanggulangi kejahatan, terbukti dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke tahun. Peningkatan itu tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada kualitasnya. Misalnya penggunaan teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang melahirkan kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi, kejahatan pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak hanya berorienasi kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan negara. Barda Nawawi Arief, menyatakan, bahwa “tindak pidana ekonomi dan tindak piana lingkungan merupakan salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan yang ada di dunia internasional. Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa membicarakan beberapa bentuk dan dimensi kejahatan, antara lain :

a.       Crime as Business, yaitu bentuk kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam bidang usaha (bisnis) atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang di dalam masyarakat.

b.      Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan internasional yang bisa disebut perbuatan “terorisme”.

c.       Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat, misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pelacuran dan sebagainya.

Masalah yang berhubungan dengan pengungsi, antara lain pengalihan bantuan dan spionase. Menurut Muladi, “Perkembangan kejahatan ini telah melewati batas-batas negara dan menunjukkan adanya kerja sama kejahatan yang bersifat regional dan internasional. Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan dari perkembangan sarana transportasi dan komunikasi modern”.

Terdapatnya masalah dalam penanggulangan kejahatan melalui penegakan

Hukoem  pidana, telah menimbulkan kritik dan kecaman yang sangat pedas terhadap penggunaan Hukoem  pidana dan pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (Hukoem ) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (Hukoem ) pidana merupakan “peninggalan dari K ebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah Hukoem  pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris, terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.

Atas dasar pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat yang menyatakan bahwa teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal pemindanaan merupakan a relic of barbarism. Disamping kegagalan Hukoem  pidana memenuhi fungsinya, dasar pemikiran lain yang menjadi penyebab penolakan terhadap penggunaan Hukoem  pidana dan pemidanaan dalam menanggulangi kejahatan, yakni adanya paham “determinisme” yang menyatakan, bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan, karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian, kejahatan tidak dapat dipersilahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organic dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, melainkan tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi, dengan tokohnya antara lain Lambroso, Garofalo dan Ferri.

Kampanye anti pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini, dengan slogan barunya yang terkenal the struggle against punish atau abolition of punishment. Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry forensic sekaligus seorang kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the exoression of an offrenders abnormality or immaturity) dari pada (punishment). kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan, “sikap memidana” (punitive Attitude) harus diganti dengan :sikap mengobati” (therepeutic attitude) Ide penghapusan pidana ini dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh ekstrim dari aliran defense sociale yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hokum perlindungan sosial harus menggantikan Hukoem  pidana yang ada sekarang.

Tujuan utama Hukoem  perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukoem  perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya digantikan oleh pandangan tentang perbuatan anti Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang dituangkan dalam sebuah tesis yang diberi judul “Pelaksanaan Politik Hukoem  Pidana dalam upaya Menanggulangi Kejahatan”.

B. Perumusan Masalah :

Berdasarkan uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1.        Apakah yang dimaksud Politik Hukoem  Pidana ?

2.        Bagaimanakah Pelaksanaan Politik Hukoem  dalam Penanggulangan Kejahatan ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1.        Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup politik Hukoem  pidana;

2.        Untuk mengetahui dan menjelaskan fungsi politik Hukoem  pidana dalam penanggulangan kejahatan.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian dan ruang lingkup politik Hukoem  pidana

Istilah “Politik Hukoem  Pidana” dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda). Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukoem  Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Kebijaksanaan Hukoem  Pidana”.

Dalam kepustakaan asing, istilah politik Hukoem  pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal politikcriminal policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian politik Hukoem  pidana, antara lain :

1.      Menurut Marcx AncelPenal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan Hukoem  positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.  

2.      Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan:

1)      diperbaharui.

2)      Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3)      Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

3.      Menurut Soerjono Soekanto, Politik Hukoem  pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan  dengan lain perkattaan, maka politik hokum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan.

Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik Hukoem  pidana dapat pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik Hukoem  pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hokum pidana) dan Nonpenal (tanpa Hukoem  pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik Hukoem  pidana dapat diartikan sebagai

“suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan Hukoem  pidana”.

Bertolak dari beberapa uraian mengenai pengertian politik Hukoem  pidana yang dikemukakan diatas, maka secara umum dapat dinyatakan, bahwa politik Hukoem  pidana adalah : “suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan Hukoem  pidana yang rasional, yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa politik gukum pidana sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan, mengejawantah dalam bentuk

penegakan Hukoem  pidana yang rasional. Ada tiga tahap dalam penegakan Hukoem  pidana yaitu :

a.       Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan Hukoem  pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini yang akan datang. Kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.

b.      Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukoem  pidana (tahap penerapan Hukoem  pidana) oleh aparat-aparat penegak Hukoem  mulai dari kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak Hukoem  bertugas menegakan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak Hukoem  harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat pula disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif.

c.       Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukoem  pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana ini dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.

Ketiga tahap penegakan Hukoem  pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penegakan Hukoem  pidana yang rasional sebagai pengejawantahan politik Hukoem  pidana, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait, yaitu penegak hokum pidana, nilai-nilai dan Hukoem , (perundang-undangan) pidana. Pembagian tiga faktor tersebut dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem Hukoem , yaitu “substansi Hukoem :, “struktur Hukoem ” dan“budaya Hukoem ,”.

a. Faktor Penegak Hukoem

Faktor ini menunjukkan pada adanya kelembagaan yang mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak didalam suatu mekanisme. Adapun faktor penegak Hukoem  atau dapat pula disebut komponen struktur Hukoem , meliputi :

1)            Badan pembentukan undang-undang atau lembaga legislatif.

2)            Aparat penegak Hukoem  dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukoem  dan Pengadilan,

3)            Aparat pelaksanaan pidana.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor penegak Hukoem  merupakan tempat kita menggantungkan harapan bagaimana suatu sistem Hukoem  itu seharusnya bekerja (law in the books) dan bagaimana bekerjanya suatu system Hukoem  dalam kenyataan (law in action). Di sini berlaku adagium yang berbunyi, bahwa “baik buruknya sesuatu tergantung kepada baik buruknya manusianya”. Dalam kerangka penegakan Hukoem  pidana, hal ini mengandung makna bahwa baik buruknya penegakkan Hukoem  pidana tergantung kepada baik buruknya aparat penegak Hukoem . Jadi bukan tergantung kepada Hukoem nya. Tegasnya, walaupun Hukoem nya baik, tetapi jika para penegaknya (penegak Hukoem  dalam arti sempit) tidak baik, maka penegakkannya pun tidak akan baik, demikian pula sebaliknya. Adapun baik buruknya penegak Hukoem  tergantung kepada nilai-nilai yang diterima dan dipahaminya. Singkat kata, penegakan Hukoem  yang baik harus bermula darinilai yang baik.

b. Faktor Nilai

Telah dikemukakan diatas, bahwa faktor nilai merupakan sumber dari segala aktivitas dalam penegakan Hukoem  pidana. Jika nilanya baik, maka akan baik pula penegakan Hukoem  pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya kedudukan nilai dalam mewujudkan penegakan Hukoem  yang baik. Sejauh mana urgensi nilai dalam mewujudkan penegakan Hukoem  pidana yang baik, Soerjono Soekanto11 menyatakan. Jika komponen yang bersifat struktur (baca : penegak Hukoem , pen) dapat kita ibaratkan sebagai suatu mesin, maka komponen kedua (baca : nilai.Pen.) dapat kita ibaratkan sebagai bensin, yang merupakan penggerak dari mesin tadi. Jikalau bensin yang kita pakai untuk mengisi mesin tadi adalah bensin campuran, maka hal ini akan mempengaruhi daya laju mesin tadi.

Apabila yang dibicarakan adalah tentang bensin campuran sebagai pengisi mesin tadi, maka yang menjadi masalah adalah nilai yang diterima oleh para penegak Hukoem  yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan Hukoem  itu. Faktor nilai akan membentuk pemahaman dan sikap para penegak hokum dalam melaksanakan tugasnya menegakkan Hukoem  pidana, baik mengenai bagaimana suatu sistem Hukoem  itu seharusnya bekerja (law in the books) maupun tentang bagaimana bekerjanya suatu sistem hokum dalam kenyataan (law in action) Contoh populer mengenal hal ini adalah pemahaman para penegak hokum terhadap asas legislatif.

Sebagaimana diketahui, bahwa ada tiga pemahaman bentuk pemahaman terhadap asas legalitas, yaitu :

1)      Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief Wettelijke). Disini orang menterjemahkan asas legalitas semata-mata didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Jadi sah (legal) atau tidaknya suatu perbuatan semata-mata berpegang kepada ada atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan itu, tanpa memperhitungkan sama sekali Hukoem  yang hidup (rasa keadilan) dalam masyarakat. Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Contoh konkretnya adalah penanggulangan terhadap Tindak Pidana subversi. Para penegak Hukoem  berpegang teguh pada ketentuan Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, walaupun perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam undang-undang tersebut oleh masyarakat tidak dianggap lagi sebagai kejahatan, tetapi karena peraturan perundangundangan tersebut belum dicabut, maka aparat penegak Hukoem  akan tetap memproses dan mengHukoem  orang yang melakukan perbuatan tersebut. Disini yang dipegang hanya kepastian Hukoem , sedangkan keadilan sama sekali tidak diperhatikan.

2)      Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang negative (negatief wettlelijke). Berbeda dengan pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief wettelijke). Pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang negative (negatief wettelijke) ini memperluas Hukoem  yang hidup (Hukoem  yang tidak tertulis/Hukoem  adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan, sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur di dalam undang-undang. Perluasan pemahaman terhadap asas legalitas ini tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian Hukoem  dengan keadilan. Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukoem  Pidana (baru) Konsep tahun 1991/1992 yang telah disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan tanggal 13 Maret 1993, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1) :

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya atau tidak dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

Pasal 1 ayat (3) :

“Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya Hukoem  yang hidup menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur di dalam peaturan perundang-undangan”.

Ketentuan pasal 1 ayat (3) di atas sekilas memang terlihat menampung atau memperhatikan aspirasi masyarakat karena member tempat bagi berlakunya Hukoem  adat, tetapi jika dikaitkan dengan salah satu tujuan keberadaan asas legalitas, yaitu untuk melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa dalam menanggulangi kejahatan, maka ketentuan Pasal 1 ayat (3) konsep tersebut justru merupakan ancaman bagi warga masyarakat. Jika Pasal 1 ayat (3) tersebut betul-betul dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai keadilan, maka rumusannya harus ditambah, sehingga berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya Hukoem  yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundangundangan”, (tambahnya) “sebaliknya walaupun suatu perbuatan telah dinyatakan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana tetapi apabila karena perbuatan itu masyarakat tidak dirugikan dan tidak ada hak yang dilanggar, maka perbuatan itu tidak patut dipidana”.

Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (3) konsep KUHP Baru tersebut diatas, sebenarnya sudah sejak lama dan tersebar dalam produk legislatif selama ini, seperti termuat di dalam : Pasal 5 ayat (3) Sub b Undang-undang No. 1 Drs. 1951 : …bahwa suatu perbuatan yang menurut Hukoem  yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukoem  Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan Hukoem an yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai Hukoem an pengganti bilamana Hukoem an adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terHukoem  dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terHukoem  …, bahwa suatu perbuatan yang menurut Hukoem  yang hidup dibandingnya dalam Kitab Hukoem  Sipil, maka dianggap diancam dengan Hukoem an yang sama dengan Hukoem an bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang lama yaitu UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai berikut :

Pasal 14 ayat (1) :

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukoem  tidak/kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 23 ayat (1) :

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertent dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber Hukoem  tidak tertulis”.

Pasal 27 ayat (1) :

“Hakim sebagai penegak Hukoem  dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukoem  yang hidup”. Walaupun pengakuan terhadap hokum yang hidup sudah sejak lama ada di dalam peraturan perundang-undangan (Hukoem  positif), tetapi kenyataannya aparat penegak Hukoem  (terutama Polisi, Jaksa dan Hakim) enggan memproses seseorang yang menurut Hukoem  yang hidup patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak huku, hanya bepegang kepada peraturan perundang-undangan (Hukoem  positif) saja.Khusus mengenai ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970, kami berpendapat bahwa ketentuan ini di samping memberi kebebasan kepada hakim untuk memidana suatu perbuatan berdasarkan Hukoem  yang hidup, juga memberi kebebasan kepada hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dipidana, tetapi menurut Hukoem  yang hidup tidak perlu dipidana. Mengapa aparat penegak Hukoem  (dalam arti sempit) dalam menegakan Hukoem  tidak mau menggunakan Hukoem  yang hidup, padahal peraturan perundang-undangan memperbolehkannya? Inilah yang merupakan masalah nilai. Disini aparat penegak Hukoem  sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan sekaligus tidak memahami makna sebenarnya dari asas legalitas. Aparat penegak Hukoem  (Indonesia) tidak lebih dari sekedar mulut atau kaki angan undang-undang, bahkan lebih parah lagi merupakan mulut atau kaki tangan penguasa.

4)            Asas legalitas sebagai salah satu ciri negara hokum Negara Hukoem  atau Rule of law dalam arti menurut konsepsi dewasa ini, mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal, seperti : pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Legalitas dalam arti Hukoem  dalam segala bentuknya, dan terjaminnya peradilan yang bebas. Konsepsi negara Hukoem  atau rule of law beserta sendi-sendinya

sebagaimana tersebut diatas, membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi tersebut dalam berbagai Hukoem , Hukoem  pidana formal maupun Hukoem  pelaksanaan pidana. Penceminan sendi-sendi tersebut tersebut di bidang Hukoem  pidana, akan menimbulkan penciptaan asas-asass yang merupakan dasar Hukoem  pidana yang bersangkutan. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Bertolak dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa dalam kerangka negara Hukoem , asas legilalitas harus dipahami sebagai sarana pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian sah tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur dengan ada tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, melainkan juga harus ada perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam perbuatan itu. Disini nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar legalisasi perbuatan. Jika faktor nilai dianggap sebagai sumber dari segala aktivitas dalam penegakan Hukoem  pidana, maka pemahaman yang sama aparat penegak Hukoem  terhadap makna asas legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan Hukoem , pidana yang berkeadilan.

c. Faktor Substansi Hukoem

Faktor substansi Hukoem  ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi bekerjanya sistem Hukoem  dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi Hukoem  tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak Hukoem , sedangkan baik buruknya sikap para penegak Hukoem  tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak Hukoem . Dengan demikian, baik buruknya substansi Hukoem  pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak Hukoem . Jadi, sebagai hasil aktual dari bekerjanya sistem Hukoem , maka substansi Hukoem  pada hakikatnya merupakan aktualisasi nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak Hukoem . Adapun substansi Hukoem  di bidang Hukoem  pidana meliputi :

1)      Hukoem  pidana tertulis yang mencakup Hukoem  pidana material, Hukoem  pidana formal dan Hukoem  pelaksanaan pidana;

2)      Hukoem  pidana tidak tertulis

Dari keseluruhan uraian diatas secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa ruang lingkup politik Hukoem  pidana mencakup: “Usaha atau kegiatan untuk memilih nilai nilai yang diperkirakan mampu mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataan sebagai bentuk reaksi terhadap kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.

 

B.     Pelaksanaan politik Hukoem  pidana dalam penangulangan kejahatan

Pengertian Pelaksanaan Politik Hukoem  Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990. “Pelaksanaan adalah proses atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto “Melaksanakan Politik Hukoem  pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan “Bahwa melaksanakan politik Hukoem  pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik Hukoem  pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan Hukoem , yaitu komponen kultur atau nilai Hukoem , komponen struktur Hukoem  dan komponen substansi Hukoem .

 

Pendekatan Dalam Pelaksanaan Politik Hukoem  Pidana

1.  Pendekatan Integral Antara Kebijaksanaan Penal dan Nonpenal

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (Hukoem  pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara terus-menerus oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional.

Tujuan uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisisosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diiternsifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.

2.  Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai

Tiga masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan sarana Hukoem  pidana (politik Hukoem  pidana), yaitu masalah penentuan:

1)      Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;

2)      Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan

3)      Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisaan terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi, bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari politik sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial yang telah ditetapkan. Dngan demikian politik Hukoem  pidana (termasuk pula dalam menangani tiga masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya Sudartoberpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a.       Penggunaan Hukoem  pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan Hukoem  pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2)      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan Hukoem  pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan ketugian baik material maupun spiritual atas warganya. Penggunaan Hukoem  pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak Hukoem , yaitu jangan kelampauan beban tugas (overbelasting)

3)      Penggunaan sarana penal atau (Hukoem ) pidana dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja Hukoem  pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijaksan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik.

Tahap Pelaksanaan Politik Hukoem  Pidana

Upaya penanggulangannya kejahatan dengan Hukoem  pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari upaya penegakan Hukoem . Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan Hukoem  pidana merupakan bagian pula dari politik atau kebijakan penegakan Hukoem . Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik Hukoem  pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:

a.       Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik Hukoem  pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.

b.      Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik Hukoem  pidana oleh para penegak Hukoem , mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

c.       Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik Hukoem  pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.

Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik Hukoem  pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik Hukoem  pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak Hukoem  pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat denganmHukoem  pidana”. Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multidisiplin).

Dimensi Kemanusiaan Dalam Pelaksanaan Politik Hukoem

Menurut Mulyana W. Kusumah. Proses penegakan Hukoem  dapat dilihat melalui dua sudut pandang :

1.      Dari sudut pandang kultural, penegakan Hukoem  adalah upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat sosial kontrol (pengendalian sosial) resmi untuk melaksanakan internalisasi Hukoem  pada warga masyarakat.

2.      Dari sudut pandang struktural, penegakan Hukoem  adalah bekerjanya berbagai organisasi yang mewakili pola kepentingan dan konstelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan “keamanan dan ketertiban” sesuai dengan ideologi Hukoem  yang berkuasa.

Selanjutnya dinyatakan oleh Mulyana W. Kusumah, bahwa pada suatu masyarakat yang menampilkan kondisi Hukoem  represif, terlihat bahwa dasar keabsahannya terutama terletak pada social defence (perlindungan sosial) dengan ciri-ciri antara lain pranata Hukoem  tunduk pada politik kekuasaan dalam arti kelestarian adalah tugas penegakan Hukoem  dengan sifat-sifat paksaan yang meluas. Dalam kondisi ini, seringkali terjadi apa yang disebut “keadilan kelas” (class justice) dengan kecenderungan kuat kearah kriminalisasi tindakan golongan masyarakat yang dipandang membahayakan pusat-pusat kekuasaan. Dalam hal ini ,unsur-unsur sistem peradilan pidana (misalnya), bekerja melalui proses sangat selektif dan melibatkan suatu jaringan diskresi yang luas oleh aparat penegak Hukoem . Prinsip penegakan Hukoem  yang berpijak pada gagasan tentang negara Hukoem  dan the rule of law, pada dasarnya telah meletakkan syarat-syarat bagi transpormasi Hukoem  represif (yang merupakan ciri Hukoem  kolonial) ke kondisi dasar Hukoem  otonom yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri serta Hukoem  responsif yang merupakan sarana respon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, aparat penegak Hukoem  di Indonesia sesungguhnya telah mempunyai landasan yang kokoh, oleh karena prinsip tersebut telah terkandung di dalam UUD 1945.

Persoalan yang utama dalam proses penegakan Hukoem  berkisar antara lain pada efektifitas dan dampak sosialnya. Efektivitas penegakan Hukoem  jelas tidak dapat diukur semata-mata berdasarkan kriteria rancu, seperti jumlah warga negara yang terkena sasaran penegakan Hukoem  dan sebagainya. Penilaian terhadap efektivitas penegakan Hukoem  ditentukan oleh seberapa jauh rangkaian upaya penegakan Hukoem  dalam kurun waktu tertentu sudah mendekatkan pada tujuan Hukoem , yakni keadilan, atau seberapa jauh nilainilai Hukoem  proses-proses maupun nilai-nilai Hukoem  substansi telah terimplementasi melalui penegakan Hukoem .

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik Hukoem  pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hokum pidana) dan Nonpenal (tanpa Hukoem  pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik Hukoem  pidana dapat diartikan sebagai

“suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan Hukoem  pidana”.

Ada tiga tahap dalam penegakan Hukoem  pidana yaitu :

1.      Tahap formulasi

2.      Tahap aplikasi

3.      Tahap eksekusi

Menurut Sudarto “Melaksanakan Politik Hukoem  pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”

pelaksanaan politik Hukoem  pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan Hukoem , yaitu komponen kultur atau nilai Hukoem , komponen struktur Hukoem  dan komponen substansi Hukoem .

 

B.     SARAN

Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

 

Barda Nawawi Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, hal. 28-41 Fakultas Hukoem  Undip Semarang, 1991;

Muladi, Stelsel Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas Padang Tanggal 30 Oktober -11 November

Barda Nawawi. Arief, Masalah Penegakan Hukoem  Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukoem  Pidana Angkatan IV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukoem  Unsud di Purwokerto tanggal 25 Maret – 10 April 1990;

Muladi, Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan Instrumen-instrumen Internasional, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Hukoem  Pidana. Tanggal 20 april 1990

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukoem  Pidana, Fakultas Hukoem  Undip semarang, hal. 24, tanpa tahun

Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hal. 5, PidatoPengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;

Sudarto, Hukoem  dan Perkembangan Masyarakat, hal 62, Sinar Baru, Bandung. 1983

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukoem  Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukoem , hal . 273 – 286 Alumni Bandung, 1986

Kitab Undang-Undang Hukoem  Pidana, Hal. 140.

 

 

 

 

 

1 komentar: