Jumat, 13 Januari 2017

makalah etika advokad

        



 

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah hak imunitas advokat di indonesia

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah hak imunitas advokat di indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.                Latar Belakang

 

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa Hukoem  baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Peran dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik yang dilakukan dipengadilan tentang masalah Hukoem  pidana atau perdata, seperti mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian) atau beracara dimuka pengadilan. Advokat mempunyai kualifikasi dan otorisasi untuk berpraktek di pengadilan dalam memberikan nasihat Hukoem  dan mendampingi serta membela kliennya dalam persoalan Hukoem , sehingga kebebasan profesi advokat sangat penting manfaatnya bagi masyarakat yang memerlukan jasa Hukoem  (legal services) dan pembelaan (litigation) dari seorang advokat. Sehingga seorang anggota masyarakat yang perlu dibela akan mendapat jasa Hukoem  dari seorang advokat independen, yang dapat membela semua kepentingan kliennya tanpa ragu-ragu.

Setiap advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat diHukoem  sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah terhadap dan karena tindakannya tersebut, terhadap para advokat dan kliennya tidak dilakukan tekanan, ancaman, hambatan, ketakutan, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Dalam pasal 16 undang-undang No 18 Tahun 2003 dikatakan bahwa “advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana didalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien”. Artinya bahwa advokat itu mempunyai hak imunitas untuk tidak dapat dituntut, dan arti etikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan Hukoem  untuk membela kepentingan kliennya.

Untuk itu hak imunitas ini perlu dipahami tidak hanya oleh advokat, tujuannya agar semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini perlu karena beberapa advokat pernah dipanggil polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah “terlapor”. Bahkan, polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar di pengadilan. Asas Hukoem  equality before the law berarti bahwa kesetaraan dihadapan Hukoem  tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai patokan umum dalam penegakan Hukoem  (law enforcement). Namun perlu diperhatikan juga bahwa asas equality before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas. Hak imunitas dan asas Hukoem  tersebut perlu mendapat perhatian, berkaitan dengan status advokat sebagai penegak Hukoem  yang sejajar dengan hakim, jaksa dan polisi, dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-berbeda sesuai dengan fungsi utama masing-masing. Tugas-tugas advokat dijabarkan dalam Undang-undang advokat. Namun dalam kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan terhadap advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena suatu masalah semata-mata dilihat dari Hukoem  acara pidana. Hal tersebut dapat saja terjadi karena ketidaktahuan polisi atau karena arogansi status.

Seperti halnya dalam kasus korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai dengan tersangka A.Ambarita (Kejaksaan Negeri Tuat Pejat) ex pasal 21 Undang-Undang No.31 tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo undang-undang No.22 tahun 2001. Dalam kasus tersebut, advokat Manatap Ambarita, S.H. telah bertindak sebagai kuasa tersangka yang sebelum perkara pokok berjalan, pihak Kejaksaan Negeri Padang, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat telah memperlakukan advokat Manatap Ambarita,S.H. sebagai tersangka yang diikuti penahanan secara langsung dengan tuduhan menghalangi proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai. Hal ini menunjukkan adanya proses penegakan Hukoem  korupsi yang cenderung menyingkirkan immunity right telah terjadi di Pengadilan Negeri Padang.

Advokat tidak bisa diidentifikasikan dengan kliennya karena advokat pada prinsipnya hanyalah pemegang kuasa/agen dari kliennya, ketak identikan antara advokat dan kliennya tersebut sesuai dengan Hukoem  keagenan, bahwa agen hanya bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya. Selama agen menjalankan tugas sesuai dengan tugas yang didelegasikan kepadanya dan dilakukan secara professional, advokat tersebut tidak dapat menjadi tanggung gugat, tetapai principal lah yang harus bertanggung jawab secara Hukoem . Seperti halnya pada pasal 18 ayat (2) dari undang-undang Advokat menentukan dengan gamblang sebagai berikut: “advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan atau masyarakat”. Advokat berhak untuk membela siapapun kliennya, termasuk penjahat kelas kakap yang telah dihujat oleh banyak orang dan tetap melaksanakan prinsip yakni setiap orang berhak untuk mendapatkan pembelaan Hukoem  secara wajar, yang memang diakui oleh setiap Hukoem  yang modern di dunia ini, termasuk Hukoem  Indonesia. Jika advokat membela kliennya yang merupakan penjahat besar misalnya, advokat tersebut tidak boleh dikucilkan atau dihujat seperti mengucilkan dan menghujat kliennya. Seperti telah disebutkan bahwa sekali advokat memegang suatu perkara, meskipun kliennya tidak popular dan penjahat yang dicaci maki oleh masyarakat, advokat tetap harus memberikan jasa Hukoem  sebaik mungkin sesuai prinsip-prinsip professional, intelektualitas, dan emosional. Disamping itu setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan Hukoem , meskipun orang tersebut merupakan penjahat besar, berdasarkan prinsip hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan Hukoem  tersebut tidak dapat dipersalahkan.

Bagaimana jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu terkait dengan pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika sebelumnya telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah atau tidaknya pekerjaan seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu kliennya sehingga kliennya kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia mesti meminta organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan seorang advokat tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan tersebut termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya advokat diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah pasti menang. Jika advokat yang bersangkutan sudah diperiksa dewan etik atau dewan kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka Hukoem annya dua. Oleh organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan memperoleh sanksi pidana dari penegak Hukoem . Namun jika tidak ditemukan bukti dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia tidak bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu, menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana biasa. Tetapi advokat yang menjadi penasihat Hukoem  koruptor atau teroris kemudian laptopnya ikut disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi advokat. Karena perbuatan kliennya bukanlah tanggungjawab advokat.

Kewajiban Advokat membela kliennya dengan semaksimal mungkin dimaksudkan agar advokat mencari semua jalan dan jalur Hukoem  yang tersedia yang memberi keuntungan bagi kliennya dengan segala kerugikan kliennya meskipun upaya, mencurahkan segenap tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian dan komitmen pribadi dan komitmen pribadi dan komitmen profesinya. Dalam hal ini seorang advokat memikul kewajiban untuk tidak merugikan kliennya meskipun hal tersebut tidak menyenangkan atau bertentangan dengan suara hati advokat itu sendiri atau membuat advoak itu sendiri menjadi tidak populer malah bahkan dibenci oleh masyarakat, sama dengan masyarakat memebensi kliennya itu yang mungkin saja memang benar kliennya itu adalah seorang bajingan (penjahat sadis). Untuk itu advokat harus memberikan komitmen yang penuh dengan dedikasi yang tinggi dan mengambil seluruh langkah apapun yang tersedi yang menguntungan kepeentingan kliennya. Ketika kepentingan kliennya bertentangan dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan advokat pribadi, kepentingan klien lah yang harus dimnangkan tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan Hukoem  yang lebih didahulukan berlakunya.

 

 

 

B.                Perumusan masalah

 

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:

a.                  Bagaimana pengaturan Hukoem  tentang pelaksanaan hak imunitas advokat di Indonesia?

b.                  Bagaimana hambatan dalam melaksanakan hak imunitas advokat di Indonesia?

c.                  Bagaimana kebijakan Hukoem  pidana terhadap pengaturan hak imunitas advokat di Indonesia?

C.                Tujuan dan Manfaat Penulisan

 

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

1.                  Untuk mengetahui pengaturan dan perlindungan mengenai hak imunitas profesi advokat di Indonesia.

2.                  Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan seorang advokat dalam menggunakan hak imunitas profesinya. Untuk mengetahui batasan-batasan profesi advokat dalam menggunakan hak imunitasnya.

3.                  Untuk  mengetahui  kebijakan  Hukoem   pidana  terhadap  pengaturan  hak

imunitas advokat di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

1.                  Pengaturan Bantuan Hukoem  dan Hak Imunitas Advokat

 

a.                  Pengaturan Bantuan Hukoem

 

Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan Hukoem  untuk kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan Hukoem  merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat, oleh sebab itu Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma atau probono. Pemberian bantuan Hukoem  oleh Advokat tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social kontribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat, undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma sebagai bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.

Bantuan Hukoem  merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama pada lapisan termiskin rakyat kita. Orang kaya sering tidak butuh bantuan Hukoem  sebetulnya pada dasarnya Hukoem  itu dekat dengan orang kaya. Kekayaan memberikan perlindungan Hukoem  yang lebih aman, malah sering juga tidak melestarikan ketidak adilan Hukoem  antara sikaya dan simiskin. Kesalahan gerakan bantuan Hukoem  di Indonesia selama ini adalah karena gerakan bantuan Hukoem  kita terlalu individual dan urban. pelanggaran HAM adalah masyarakat miskin dari struktural bawah yang hidup di rural. Pada bagian lain sudah diungkapkan banyakanya insiden perlakuan yang tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa Hukoem  dan pembelaan seorang advokat (penasehaet Hukoem ) profesional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan Hukoem  diperlukan untuk membela orang miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak Hukoem . Lembaga bantuan Hukoem  sebagai salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka. Untuk itu diperlukan suatu proses Hukoem  yang adil (due process of law) melalui suatu acara Hukoem  nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.

Sama halnya bentuk kebijakan bantuan Hukoem  gratis yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diatur dalam keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Nomor 10/KPTS/III/2009 tentang pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukoem  gratis kepada masyarakat miskin Sumatera selatan. Bantuan Hukoem  gratis hanya diberikan kepadapemerintah setempat serta masyarakat miskin tersebut betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan Hukoem nya.

Ada beberapa aturan Hukoem  yang mengatur tentang bantuan Hukoem  di Indonesia, diantaranya:

 

1.                  Pengaturan bantuan Hukoem  berdasarkan UUD 1945

 

Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) telah memberikan pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian Hukoem  yang adil bagi setiap orang tanpa membedakan suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Pengakuan dan jaminan ini dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukoem  (rechtstaat). Hal itu dapat diartikan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan Hukoem  sebagai bagian dari hak asasi manusia harus dianggap sebgai hak konstitusional warga negara. Kendatipun tidak secara eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara wajib untuk memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara adil merupakan salah satu ciri Negara Hukoem . Artinya Negara berkewajiban          menjamin segala hak masyarakat yang        berhubungan dengan Hukoem , termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan Hukoem  ini bukan tanpa dasar.

 

Selain itu dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan segala warga Negara  bersamaan  kedudukannya  dalam  Hukoem   dan  pemerintahan  dan  wajib menjunjung Hukoem  dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, setiap warga Negara mempunyai hak untuk dibela (access to legal counsel), hak diperlakukan sama dimuka Hukoem  (equality before of the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice)

2.                  Pengaturan bantuan Hukoem  berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 dan PP No.83 Tahun 2008

Pada tanggal 31 Desember 2008, pemerintah telah mensahkan peraturan pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma. Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan pasal 22 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang sinya sebagai berikut:

Ayat (1)”Advokat wajib memberikan bantun Hukoem  secar Cuma-Cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu”, ayat (2) “ketentuan persyaratan dan tata cara pemberian bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma sebagaimana disebut pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah yang menginsyaratkan Advokat wajib membemberikan bntuan Hukoem  secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Kewajiban bagi para Advokat untuk memberikan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan di dalam Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2008 terdapat dalam pasal-pasal yang isinya adalah “Advokat wajib memberikan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma kepada pecari keadilan”. Serta mengenai pelarangan bagi advokat untuk menolak permohonan bantuan secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang isinya:

 

“advokat dilarang menolak permohonan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma”, ayat (2) dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan Hukoem  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan dapat mengajukan keberatan organisasi advokat atau lrmbaga bantuan Hukoem  yang bersangkutan.

 

a.                  Pengertian hak imunitas

Istilah imunitas berasal dari bahasa latin yaitu immuniteit yang memiliki arti kekebalan atau hal atau keadaan yang tidak dapat diganggu gugat. Istilah imunitas tersebut apabila dikaitkan dengan hak imunitas advokat maka dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam melakukan profesinya dalam rangka membela kepentingan kliennya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien.

Dengan demikian yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat di Hukoem  sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya.

Hak kekebalan (immuniteit) untuk tidak dapat dituntun baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai penegak Hukoem , peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh Hukoem  dan peraturan perundang-undangan.

Artinya, eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan jasa Hukoem , tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi sudah menjadi salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak Hukoem  lainnya dalam menegakkan Hukoem  dan keadilan, bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesinya.

Dalam menjalankan profesinya, hak imunitas juga telah dijamin oleh Undang-undang, yaitu dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Advokat, yang secara tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam Sidang Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam hal ini adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu pula Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan Kliennya. Maksud Itikad baik disini adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan Hukoem  untuk membela kepentingan Kliennya dalam setiap tingkat peradilan di semua lingkungan peradilan. Selain itu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Advokat, bahwa Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang atau oleh masyarakat.

Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu dimensi kemanusiaan, dimensi pertanggungjawaban sosial, dimensi kebebasan, dimensi pembangunan negara Hukoem  dan dimensi pembangunan demokrasi.

2.                Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia

a.                  Pengertian Advokat

Akar kata advokat, apabila didasarkan pada kamus latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu advocatus, yang berarti orang yang membantu seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan. Sedangkan, menurut Black’s

Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare suatu kata kerja berarti          to defend,to call one’s aid, to vouch to warrant. Kata tersebut berarti:

 

“one who assits, defends, or pleads for another.one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal. A person learned in the law and duly admitted to practice, who assits his client with advice, and pleads for him in open court. An assistant, advicer, plead for causes.”

Artinya seorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan Hukoem  dan berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari Hukoem  dan telah diakui untuk berpraktek, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutan dihadapan pengadilan. Seseorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.

Sedangkan menurut Assosiasi Advokat Indonesia (“AAI”), pada Bab I, pasal 1(1) Anggaran Dasar AAI yang berbunyi:

Advokat adalah termasuk penasehat Hukoem , pengacara, pengacara praktek, dan para konsultan Hukoem ”.

Tapi jika kita coba menganalisis pragraf berikutnya, yaitu ayat 2 pragraf kedua yang berbunyi:

Profesi advokat, penasehat Hukoem , pengacara, pengacara praktek adalah profesi yang dijalankan para sarjana Hukoem  lulusan Universitas negeri atau yang dipersamakan, bukan pegawai negeri / Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. atau oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat yang menjalankan praktek profesinya diluar dan dimuka pengadilan.”

Dalam kamus Hukoem , pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli Hukoem ) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa Hukoem , baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini.

Pengertian advokat secara istilah, adalah seorang yang melaksanakan kegiatan advokasi yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan seseorang atau kelompok orang untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak, maupun kewajiban klien seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.

Menurut undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, dalam pasal 1 angka (1) dikatakan:

“advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa Hukoem  baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Berdasarkan uraian diatas, pengertian advokat memberikan penekanan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam undang-undang No.8/2003, sudah ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Sehingga cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan, sebagaimana diatur undang-undang advokat. Pendapat Purnadi purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu Hukoem , cakupan advokat tersebut sebagai politik Hukoem (legal policy). Poitik Hukoem  yang dimaksud disini adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai-nilai.

Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi (profession) advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan (job/occupation). Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah:

 

1.      Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis;

2.      Penyediaan latihan dan pendidikan;

3.      Pengujian kemampuan anggota;

4.      Organisasi;

5.      Kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan

6.      Jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.

Advokat adalah penegak Hukoem  yang memiliki kedudukan setara dengan penegak Hukoem  lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak Hukoem , peran dan fungsi para penegak Hukoem  ini berbeda satu sama lain. Nilai-nilai (value) di atas merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini adalah pembentukan undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara seHukoem  yang dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara dan konsultan Hukoem ) kiranya dapat bersatu dan dihimpun dalam wadah (organisasi) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan menjadi profesional yang disegani pada masa mendatang.

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak Hukoem  menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak Hukoem  menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).

b.                  Pengertian Etika Profesi Advokat

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin yaitu”Mos” Dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatn yang baik (kesusilaan) dan menghindari dari hal-hal tindakan yang buruk.

Etika adalah suatu nilai-nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak tanduk manusia. Etika dapat diciptakan dan diberlakukan menurut luas dan sempitnya. Etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Sedangkan etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit adalah etika yang ditujukan untuk suatu golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Dengan demikian etika yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit inilah yang disebut dengan etika profesi.

Menurut William Lilie, dalam bukunya An Intoduction to Ethics, Barnes Noble, 1957, New York, USA yaitu “The normative science of conduct of human beings living in societis is a science which judge this conduct tobe right or wrong, tobe good or bad, or in some similiar way. This definition says, first of all, that ethics is a science may be defined as a systematic and more or less complete body of knomledge about a particular set of related event or object”.

 

Pengertian dan defenisi etika daripada filsuf atau ahli tersebut di atas, yaitu

 

saling berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

 

a.                  Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak.

b.                  Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia.

c.                  Ilmu watak yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual.

d.                 Merupakan ilmu suatu kewajiban.

 

Profesi   adalah   bidang   pekerjaan   yang   dilandasi   oleh   keahlian/ keterampilan tertentu. Suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa, serta harkat dan martabat jika tidak diletakkan dengan nillai-nilai etika. Etika profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu.

Mengenai pengaturannya hanya ada satu kode etik profesi advokat yang diberlakukan  untuk  seluruh  advokat.  Dalam  pasal  33  Undang-undang  No.18 Tahun 2003 diatur kode etik advokat sebagai berikut:

“kode etik dan ketentuan dewan kehormatan profesi advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia(AAI), Ikatan Penasehat Hukoem  Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukoem  Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan PasarModal (HKPM), pada tanggal 25 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan Hukoem  secara mutatis mutandis menurut Undanng –Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat advokat.”

Selain itu, pengaturan dalam pasal tersebut tampak sejalan dengan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat yang menginginkan agar hanya ada suatu organisasi advokat. Oleh karena itu apabila seorang advokat telah dinyatakan bersalah, lalu dia melakukan banding diluar organisasi diluar Peradi, tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan Hukoem  yang tidak memahami Undang-undang Advokat.

Jika ingin mempertajam pembahasan tentang etika profesi khususnya etika profesi advokat maka kita akan menjumpai defenisinya menurut Mohamad Sanusi, yaitu:

“Kode etik profesi advokat adalah ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang advokat dalam menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu berbicara di muka pengadilan maupun diluar pengadilan”.

Dari defenisi diatas, maka fungsi dari kode etika profesi advokat dapat dikelompokkan :

1.                  Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.

2.                  Kode etik dalam hubungan advokat dengan klien.

3.                  Kode etik dalam hubungan dengan sejawat.

4.                  Kode etik dalam bertindak menangani perkara.

5.                  Kode etik dalam hubungan advokat terhadap Hukoem  atau undang-undang kekuasaan umum, dan para pejabat pegadilan.

Khusus  pengembangan  profesi  advokat,  sang  advokat  harus  selalu berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian Hukoem  yang berkeadilan. Khusus bahan renungan bagi para advokat, yang dikutipkan dari tulisan Samuel S.Leibowitz, Quentin Reynolds ( seorang advokat yang kemudian menjadi hakim ) dalam kata pengantar bukunya Court Romm sebagai berikut: dalam cerita sandiwara ini, Kingsley menciptakan tokoh Endicott Sims, seorang advokat yang mengkhususkan diri dalam bidang-bidang perkara pidana. Seorang detektif yang sadis ( Letnan Kames McLeod ) yang telah menganiaya seorang tersangka yang menjadi klien Sims. Tersangka yang dianiaya itu hampir mati. Sims mengatakan kepada detektif itu bahwa dia beruntung karena ia tidak menghadapi tuduhan pembunuhan berat.

 

McLeod          : Saya selalu dapat meminta anda untuk membela saya.

 

Sims                : Dan saya mungkin akan melakukannya. Itu adalah pekerjaan saya.

 

McLeod          : Selama anda memperoleh hononarium anda?

 

Sims                : Saya telah sering membela orang atas biaya saya sendiri. Setiap

 

orang     memiliki   hak   untuk  didampingi   advokat  (memperoleh

 

bantuan Hukoem ), betapapun ia tampak bersalah bagi anda atau bagi

 

saya. Setiap orang berhak untuk tidak dihakimi secara sewenang-

 

wenang, khususnya oleh orang-orang yang memiliki wewenang;

 

tidak oleh anda, tidak oleh kongres, bahkan tidak oleh presiden

 

Amerika Serikat.

 

McLeod          : Ia bersalah! Anda pun mengetahui sama seperti saya.

 

Sims                :   Saya   tidak   mengetahui   hal    itu,   saya   bahkan   tidak   akan

 

mengijinkan      saya     sendiri      berspekulasi      tentang     ketidak

 

bersalahannya atau kebersalahannya. Pada saat saya melakukan hai

 

itu saya melakukan tindakan menghakimi, dan bukan tugas saya untuk menghakimi. Tugas saya adalah untuk membela klien saya, bukan untuk menghakiminya. Hal itu tugas dari pengadilan.

 

Dari sinopsis Detective story tersebut, terlihat bahwa advokat Smis memiliki komitmen yang kokoh terhadap etika profesi, sebab dia tidak mau berspekulasi tentang ketidak bersalahan dan kebersalahan seseorang (menghakimi) kalaupun si terdakwa tersebut nyata bersalah. Sikap seperti ini tentunya adalah merupakan gambaran seorang penasehat Hukoem  yang memiliki sikap etis dalam mengemban profesinya secara bermartabat.

Oleh karena itu demi menjunjung kebenaran, keadilan, dan hati nurani penasehat Hukoem  dapat menjaga citra, wibawa, harkat serta martabat dalam menjalankan profesinya.

3.                    Kebijakan Hukoem  Pidana

a.                  Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan Hukoem  pidana biasa disebut juga politik Hukoem  pidana. Berbicara mengenai politik Hukoem  pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik Hukoem  secara keseluruhan karena Hukoem  pidana adalah salah satu bagian dari ilmu Hukoem . Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik Hukoem .

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “penal Policy” adalah suatu ilmu ekaligus seni          yang    pada    akhirnya          mempunyai      tujuan  praktis untuk memungkinkan peraturan Hukoem  positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi  pedoman  tidak  hanya  kepada  pembuat  undang-undang,  tetapi  juga kepada pengadilan  yang    menerapkan     undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau     pelaksana putusan pengadilan. Selanjutny dinyatakan olehnya:

diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis, di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana Hukoem  dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerjaya yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”.

 

Dengan kata pengantar diatas, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan Hukoem            pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan  yang  dapat  dilakukan  secara  yuridis  normatif,  kebijakan Hukoem  pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan   pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin sosisal lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

 

Selanjutnya  Marc  Ancel,  Penal  Policy (Politik  Hukoem   Pidana)  adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk Memungkinkan peraturan Hukoem           positif  dirumuskan secara baik dan untuk memberi  pedoman,  tidak  hanya  kepada  pembuat  undang-undang,  tetapi  juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

 

Ada suatu pertanyaan yang krusial yang dapat muncul yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan sebagai instrumen pencegahan kejahatan? Persoalan ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi jutru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi.

Upaya mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan Hukoem  pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi Hukoem  pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai philosopis dan akan menjadi Hukoem  pidana yang kering serta tidak menyentuh nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.

Usaha menemukan alas philosopis tujuan Hukoem  pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan Hukoem  pidana saat ini. Pembabakan pada tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, gabungan, treatment, social defence.

A.                Teori Retributif

Menurut teori ini, dasar Hukoem an harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.

Para pakar penganut teori ini, antara lain:

a.                  Immanuel Kant

Immanuel Kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar Hukoem  pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri , yang telah menimbulkan pederitaan pada orang lain, sedang Hukoem an merupakan tuntutan yang mutlak dari Hukoem  kesusilaan. Disini Hukoem  itu merupakan suatu pembalasan yang etis.

b.                  Hegel

Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa Hukoem  adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap Hukoem  dan hak. Hukoem an dipandang dari sisi imbalan sehingga Hukoem an merupakan dialectische vrgelding.

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk mengHukoem  sebagai respon terhadap pembenaran suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral teretntu yang mendasari aturan Hukoem  yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan Hukoem  sipelaku.

Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscahayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.

B.                Teori Detterence

Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi “deterrence”  menurut  Zimring  dan  Hawkins,  digunakan  lebih  terbatas  pada penerapan  Hukoem an  pada  suatu  kasus,  dimana  ancaman  pemidanaan  tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.  Hukoem an dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari Hukoem  itu, yakni memperbaiki ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu.

Selain itu tujuan Hukoem an adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (... the justification for penalazing offences is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

1.                  Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk sipelaku           untuk   menahan          diri       atau tidak        melakukan pelanggaran Hukoem  kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

2.                  Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators) dalam hal ini memnerikan rasa takut orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

3.                  Perbaikan sipelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran sipelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana.

4.                  Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

5.                  Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

 

 

C.                Teori Gabungan (Teleoligical retributivist)

Menurut teori teleological retributivist, tujuan pemidanaan adalah bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis. Teori teological retributivist ini dikenal dengan teori gabungan, teori gabungan ini lahir karena adanya kelemahan yang terdapat baik pada teori absolut maupun teori relatif.

Vos  dalam  Bambang  Poernomo  menyebutkan,  bahwa  dalam  teori  gabungan terdapat tiga aliran, yaitu:

1.                  Teori gabungan yang menitik beratkan pembalasan tetapi dengan maksud sifat pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum. Grotius di dalam Andi Hamza disebutkan telah mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat.

2.                  Teori gabungan yang menitik beratkan kepada perlindungan ketertiban masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan pikiran, bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan, serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus diseseuaikan dengan kesadaran Hukoem  anggota masyarakat.

3.                  Teori gabungan yang menitik beratkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat, penganutnya adalah De Pinto. Vos juga menerangkan, karena pada umumya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka Hukoem  pidana harus disusun sedemikian rupa.

D.                Teori Treatment

Treatmen sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan  yang dimaksud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan          perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari pengHukoem an.

Argumen alasan ini dilandasi pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.

Dalam  kajian  yang  dibuat  oleh  Yong  Ohoitimur,  kejahatan  dianggap sebagai  Simptom  disharmony  mental  atau  ketidak  seimbangan  personal  yang membutuhkan terapi psikiatris, conseling, latihan-latihan spritual dan sebagainya. Lagi pula karena pemidanaan lebih dipandang sebagai proses terapai atas penyakit yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan dalam proses detterence. Dalam pandangan detterence pelaku adalah orang yang bersalah yang harus dijerakan supaya tidak mngulangi lagi tindak pidananya, sementara rehabilitasi memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang perlu ditolong.

Hart berpendapat bahwa seseorang dapat dapat dikenakan pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah. Pemidanaan yang dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.

Herbert L.Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali paham retributif dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali mengkaji aliran klasik dengan tujuan detterence karena menurutnya lebuh berguna sebagai starting pointi untuk mengkaji secara kejahatan dan pemidanaan secara rasional serta lebih integral.

E.                 Teori Sosial Defence (perlindungan sosial)

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica. Pandangan social defence ini terpecah menjadi dua aliran, aliran yang rdikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatdica, yang berpendapat bahwa: Hukoem  perlindungan sosial harus menggantikan Hukoem  pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari Hukoem  perlidungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancle yang menamakan alirannya sebgai defence social nouvelle. Menurut Marc Ancle tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem Hukoem .

Velinka dan Ute menyatakan bahwa resosialisasi adalah proses yang mengakomodasikan dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan sosial yang dmaksud pada dasarnya adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori telah mengusung pelaku masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih menghargai hak asasi manusia, teori ini banyak memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat dipakai dan jelas terlihat sebagai sarana diakhir masa Hukoem an untuk mempersiapkan diri memasuki masa kebebasan.

b.                  Kebijakan Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah “politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a.      Penerapan Hukoem  pidana (criminal law application)

b.      Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c.      Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/ mass media).

 

Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai crime Trends and Crime Prevention Strategis, antara lain:

1.                  Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang

 

2.                  Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan

3.                  Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejatahatan diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah,

pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk. Berdasarkan pertimbangan diatas, dihimbau kepada semua kongres ke-6 PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, deskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk ketimpangan sosial.

 

Kondisi sosial yang diterangi sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community plaining mental healthy), social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan pekerjaan sosial), serta penggunaan Hukoem  civil dan Hukoem  administrasi.

Upaya penanggulangan non-penal dapat dilakukan dengan cara:

 

1.                  Upaya yang bersifat preventif

Upaya preventif adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan jauh sebelum terjadinya kejahatan itu. Karena mencegah kejahatan jauh lebih baik daripada mendidik. Usaha melenyapkan seluruh kejahatan agaknya tidak mungkin dilakukan, namun bukan berarti kita mendiamkan kejahatan itu terjadi, kita dituntut untuk berupaya mengurangi kejahatan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Uapaya preventif dalam arti luas adalah pencegahan yang mungkin timbul jauh sebelum kejahatan itu terjadi.

2.                  Upaya bersifat Represif

Upaya represif merupakan tindakan yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan. Uapaya ini diambil sesudah atau pada saat terjadinya kejahatan . usaha ini dilakukan dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak dapat memperkecil angka kejahatan tersebut. Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan Hukoem an bagi setiap perbuatan pelanggarannya. Kejahatan akan selalu ada selama manusia itu ada. Akan tetapi walaupun demikian kita harus berusaha untuk mencegah tindak pidana tersebut dan menanggulanginya.

Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi-umum dan prevensi-khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Serentetan pendapat dan hasil penelitian berikut ini kiranya mendapat perhatian:

a.                  Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk mengHukoem  atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

b.                  Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam Hukoem nya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c.                  Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya Hukoem  pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara Hukoem  dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.

d.                 Wolf Middendorft menyatakan, bahwa sangat sulit lah untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari “general detterence” karena mekanisme pencegahan itu tidak diketahui.

e.                  Donald R. Taft dan Ralph W.England menyatakan, bahwa efektifitas Hukoem  pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukoem  hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial.

f.                   R.  Hood  dan  R.  Sparks  menytakan,  beberapa  aspek  lain  dari

 

general prevention”, seperti “reinforcing social value”, “strenghening the common conscience”, “alleviating fear” dan “providing a sense of communal security” sulit untuk diteliti.

Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian diatas, cukup beralasan kiranya untuk terus menerus menggali, memanfatkan dan mengembangkan upaya-upaya non penal untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan Hukoem  untuk kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan Hukoem  merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat, oleh sebab itu Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma atau probono. Pemberian bantuan Hukoem  oleh Advokat tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social kontribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat, undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma sebagai bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan Hukoem  secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi.

DAFTAR PUTAKA

 

 

Daud Rianto Purba, Perilaku Seks Bebas Pada Anak Jalanan dalam Perspektif Kriminologi, (Medan: USU, 2012).

 

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukoem  Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,  2005),

 

Mahmud Mulyadi, Crimal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008),

 

Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukoem , (Medan: Sinar grafika, 1993)

 

Rosady Ruslan, Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar