KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah hak imunitas advokat di
indonesia
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga
makalah hak imunitas advokat di indonesia ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Advokat
adalah orang yang berprofesi memberikan jasa Hukoem baik di dalam maupun diluar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Peran
dan fungsi advokat meliputi pekerjaan baik yang dilakukan dipengadilan tentang
masalah Hukoem pidana atau perdata,
seperti mendampingi klien dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di
kejaksaan atau kepolisian) atau beracara dimuka pengadilan. Advokat mempunyai
kualifikasi dan otorisasi untuk berpraktek di pengadilan dalam memberikan
nasihat Hukoem dan mendampingi serta
membela kliennya dalam persoalan Hukoem , sehingga kebebasan profesi advokat
sangat penting manfaatnya bagi masyarakat yang memerlukan jasa Hukoem (legal services) dan pembelaan (litigation)
dari seorang advokat. Sehingga seorang anggota masyarakat yang perlu dibela
akan mendapat jasa Hukoem dari seorang
advokat independen, yang dapat membela semua kepentingan kliennya tanpa
ragu-ragu.
Setiap
advokat memiliki kekebalan (hak imunitas) dalam menjalankan tugasnya. Yang
dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau
tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan pendapat, keterangan atau
dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak
dapat diHukoem sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan tugas profesinya. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah terhadap
dan karena tindakannya tersebut, terhadap para advokat dan kliennya tidak
dilakukan tekanan, ancaman, hambatan, ketakutan, atau perlakuan yang
merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Dalam pasal 16 undang-undang
No 18 Tahun 2003 dikatakan bahwa “advokat tidak dapat dituntut, baik secara
perdata maupun pidana didalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik
untuk kepentingan pembelaan klien”. Artinya bahwa advokat itu mempunyai hak
imunitas untuk tidak dapat dituntut, dan arti etikad baik adalah menjalankan
tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan Hukoem untuk membela kepentingan kliennya.
Untuk
itu hak imunitas ini perlu dipahami tidak hanya oleh advokat, tujuannya agar
semua pihak mengerti kedudukan advokat. Hal ini perlu karena beberapa advokat
pernah dipanggil polisi untuk menjadi saksi, dengan istilah “terlapor”. Bahkan,
polisi pernah memperlakukan advokat secara kasar di pengadilan. Asas Hukoem equality
before the law berarti bahwa kesetaraan dihadapan Hukoem tetap dijunjung dan dipertahankan sebagai
patokan umum dalam penegakan Hukoem (law
enforcement). Namun perlu diperhatikan juga bahwa asas equality
before the law tetap harus mengindahkan hak imunitas. Hak imunitas dan
asas Hukoem tersebut perlu mendapat
perhatian, berkaitan dengan status advokat sebagai penegak Hukoem yang sejajar dengan hakim, jaksa dan polisi,
dengan tugas masing-masing pihak yang berbeda-berbeda sesuai dengan fungsi
utama masing-masing. Tugas-tugas advokat dijabarkan dalam Undang-undang
advokat. Namun dalam kenyataannya, dapat terjadi bahwa perlakuan terhadap
advokat terbukti tidak sesuai dengan undang-undang tersebut karena suatu
masalah semata-mata dilihat dari Hukoem acara pidana. Hal tersebut dapat saja terjadi
karena ketidaktahuan polisi atau karena arogansi status.
Seperti
halnya dalam kasus korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai dengan
tersangka A.Ambarita (Kejaksaan Negeri Tuat Pejat) ex pasal 21 Undang-Undang
No.31 tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo undang-undang
No.22 tahun 2001. Dalam kasus tersebut, advokat Manatap Ambarita, S.H. telah
bertindak sebagai kuasa tersangka yang sebelum perkara pokok berjalan, pihak
Kejaksaan Negeri Padang, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat telah memperlakukan
advokat Manatap Ambarita,S.H. sebagai tersangka yang diikuti penahanan secara
langsung dengan tuduhan menghalangi proses penyidikan kasus tindak pidana
korupsi pada proyek pembangunan jalan di Mentawai. Hal ini menunjukkan adanya
proses penegakan Hukoem korupsi yang
cenderung menyingkirkan immunity right telah terjadi di
Pengadilan Negeri Padang.
Advokat
tidak bisa diidentifikasikan dengan kliennya karena advokat pada prinsipnya
hanyalah pemegang kuasa/agen dari kliennya, ketak identikan antara advokat dan
kliennya tersebut sesuai dengan Hukoem keagenan, bahwa agen hanya bertindak untuk dan
atas nama prinsipalnya. Selama agen menjalankan tugas sesuai dengan tugas yang
didelegasikan kepadanya dan dilakukan secara professional, advokat tersebut
tidak dapat menjadi tanggung gugat, tetapai principal lah yang harus
bertanggung jawab secara Hukoem . Seperti halnya pada pasal 18 ayat (2) dari
undang-undang Advokat menentukan dengan gamblang sebagai berikut: “advokat
tidak dapat diidentikan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak
yang berwenang dan atau masyarakat”. Advokat berhak untuk membela siapapun
kliennya, termasuk penjahat kelas kakap yang telah dihujat oleh banyak orang
dan tetap melaksanakan prinsip yakni setiap orang berhak untuk mendapatkan
pembelaan Hukoem secara wajar, yang
memang diakui oleh setiap Hukoem yang
modern di dunia ini, termasuk Hukoem Indonesia. Jika advokat membela kliennya yang
merupakan penjahat besar misalnya, advokat tersebut tidak boleh dikucilkan atau
dihujat seperti mengucilkan dan menghujat kliennya. Seperti telah disebutkan
bahwa sekali advokat memegang suatu perkara, meskipun kliennya tidak popular
dan penjahat yang dicaci maki oleh masyarakat, advokat tetap harus memberikan
jasa Hukoem sebaik mungkin sesuai
prinsip-prinsip professional, intelektualitas, dan emosional. Disamping itu
setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan Hukoem , meskipun orang tersebut
merupakan penjahat besar, berdasarkan prinsip hak setiap orang untuk
mendapatkan bantuan Hukoem tersebut
tidak dapat dipersalahkan.
Bagaimana
jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu terkait dengan
pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika sebelumnya
telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah atau tidaknya pekerjaan
seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu kliennya sehingga kliennya
kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia mesti meminta
organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan seorang advokat
tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan tersebut
termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya advokat
diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah pasti
menang. Jika advokat yang bersangkutan sudah diperiksa dewan etik atau dewan
kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka Hukoem annya dua. Oleh
organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan
memperoleh sanksi pidana dari penegak Hukoem . Namun jika tidak ditemukan bukti
dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia tidak
bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya
yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu,
menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat
melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi
barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana
biasa. Tetapi advokat yang menjadi penasihat Hukoem koruptor atau teroris kemudian laptopnya ikut
disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi
advokat. Karena perbuatan kliennya bukanlah tanggungjawab advokat.
Kewajiban
Advokat membela kliennya dengan semaksimal mungkin dimaksudkan agar advokat
mencari semua jalan dan jalur Hukoem yang tersedia yang memberi keuntungan bagi
kliennya dengan segala kerugikan kliennya meskipun upaya, mencurahkan segenap
tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian dan komitmen pribadi dan komitmen
pribadi dan komitmen profesinya. Dalam hal ini seorang advokat memikul
kewajiban untuk tidak merugikan kliennya meskipun hal tersebut tidak
menyenangkan atau bertentangan dengan suara hati advokat itu sendiri atau
membuat advoak itu sendiri menjadi tidak populer malah bahkan dibenci oleh
masyarakat, sama dengan masyarakat memebensi kliennya itu yang mungkin saja
memang benar kliennya itu adalah seorang bajingan (penjahat sadis). Untuk itu
advokat harus memberikan komitmen yang penuh dengan dedikasi yang tinggi dan
mengambil seluruh langkah apapun yang tersedi yang menguntungan kepeentingan
kliennya. Ketika kepentingan kliennya bertentangan dengan kepentingan pihak
lain, termasuk kepentingan advokat pribadi, kepentingan klien lah yang harus
dimnangkan tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan Hukoem yang lebih didahulukan berlakunya.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang,
maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan Hukoem tentang pelaksanaan hak imunitas advokat di
Indonesia?
b. Bagaimana hambatan dalam melaksanakan hak imunitas advokat
di Indonesia?
c. Bagaimana kebijakan Hukoem pidana terhadap pengaturan hak imunitas
advokat di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang
dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi
ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan dan perlindungan mengenai hak
imunitas profesi advokat di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan seorang advokat
dalam menggunakan hak imunitas profesinya. Untuk mengetahui batasan-batasan
profesi advokat dalam menggunakan hak imunitasnya.
3. Untuk mengetahui kebijakan Hukoem
pidana terhadap pengaturan hak
imunitas advokat di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengaturan Bantuan Hukoem dan Hak Imunitas Advokat
a. Pengaturan Bantuan Hukoem
Berdasarkan
Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban
untuk memberikan bantuan Hukoem untuk
kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan Hukoem merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat,
oleh sebab itu Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber
daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan Hukoem
secara Cuma-Cuma atau probono.
Pemberian bantuan Hukoem oleh Advokat
tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula
sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social
kontribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi
sosial dari profesi advokat, undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat
telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan
bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma sebagai
bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban
profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan
kewajiban pemberian bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan
peran yang optimal dari organisasi profesi.
Bantuan
Hukoem merupakan salah satu upaya
mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama pada lapisan termiskin rakyat kita.
Orang kaya sering tidak butuh bantuan Hukoem sebetulnya pada dasarnya Hukoem itu dekat dengan orang kaya. Kekayaan
memberikan perlindungan Hukoem yang
lebih aman, malah sering juga tidak melestarikan ketidak adilan Hukoem antara sikaya dan simiskin. Kesalahan gerakan
bantuan Hukoem di Indonesia selama ini
adalah karena gerakan bantuan Hukoem kita terlalu individual dan urban. pelanggaran
HAM adalah masyarakat miskin dari struktural bawah yang hidup di rural. Pada
bagian lain sudah diungkapkan banyakanya insiden perlakuan yang tidak
manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia
terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa Hukoem dan pembelaan seorang advokat (penasehaet Hukoem
) profesional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan Hukoem diperlukan untuk membela orang miskin agar
tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan manusiawi dan merendahkan derajat
manusia yang dilakukan oleh penegak Hukoem . Lembaga bantuan Hukoem sebagai salah satu sub sistem dari sistem
peradilan pidana dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi
hak-hak tersangka. Untuk itu diperlukan suatu proses Hukoem yang adil (due process of law) melalui
suatu acara Hukoem nasional yang lebih
manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.
Sama
halnya bentuk kebijakan bantuan Hukoem gratis yang diberikan oleh pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan diatur dalam keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan
Nomor 10/KPTS/III/2009 tentang pedoman Penyelenggaraan Pemberian Bantuan Hukoem
gratis kepada masyarakat miskin Sumatera
selatan. Bantuan Hukoem gratis hanya
diberikan kepadapemerintah setempat serta masyarakat miskin tersebut
betul-betul mempertahankan hak atau kepentingan Hukoem nya.
Ada
beberapa aturan Hukoem yang mengatur
tentang bantuan Hukoem di Indonesia,
diantaranya:
1. Pengaturan bantuan Hukoem berdasarkan UUD 1945
Dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat (1)
telah memberikan pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian Hukoem yang adil bagi setiap orang tanpa membedakan
suku, agama atau kedudukan derajat hidupnya. Pengakuan dan jaminan ini
dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukoem (rechtstaat).
Hal itu dapat diartikan bahwa hak untuk mendapatkan bantuan Hukoem sebagai bagian dari hak asasi manusia harus
dianggap sebgai hak konstitusional warga negara. Kendatipun tidak secara
eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara wajib untuk
memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk
diadili secara adil merupakan salah satu ciri Negara Hukoem . Artinya Negara
berkewajiban menjamin
segala hak masyarakat
yang berhubungan dengan Hukoem ,
termasuk jaminan untuk mendapatkan bantuan Hukoem ini bukan tanpa dasar.
Selain itu dalam pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 disebutkan segala warga
Negara bersamaan kedudukannya dalam Hukoem
dan pemerintahan dan wajib
menjunjung Hukoem dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Artinya, setiap warga Negara mempunyai hak untuk
dibela (access to legal counsel), hak diperlakukan sama dimuka Hukoem (equality before of the law) dan hak
untuk mendapatkan keadilan (access to justice)
2. Pengaturan bantuan Hukoem berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 dan PP No.83
Tahun 2008
Pada
tanggal 31 Desember 2008, pemerintah telah mensahkan peraturan pemerintah (PP)
No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma. Peraturan pemerintah ini
merupakan pelaksanaan pasal 22 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang sinya
sebagai berikut:
Ayat
(1)”Advokat wajib memberikan bantun Hukoem secar Cuma-Cuma kepada para pencari keadilan
yang tidak mampu”, ayat (2) “ketentuan persyaratan dan tata cara pemberian
bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma
sebagaimana disebut pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Peraturan
Pemerintah yang menginsyaratkan Advokat wajib membemberikan bntuan Hukoem secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang
tidak mampu.”
Kewajiban
bagi para Advokat untuk memberikan bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan di
dalam Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2008 terdapat dalam pasal-pasal yang
isinya adalah “Advokat wajib memberikan bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma kepada pecari keadilan”.
Serta mengenai pelarangan bagi advokat untuk menolak permohonan bantuan secara
Cuma-Cuma bagi pencari keadilan terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang isinya:
“advokat
dilarang menolak permohonan bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma”, ayat (2) dalam hal terjadi
penolakan permohonan pemberian bantuan Hukoem sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan
dapat mengajukan keberatan organisasi advokat atau lrmbaga bantuan Hukoem yang bersangkutan.
a. Pengertian hak imunitas
Istilah
imunitas berasal dari bahasa latin yaitu immuniteit yang
memiliki arti kekebalan atau hal atau keadaan yang tidak dapat diganggu gugat.
Istilah imunitas tersebut apabila dikaitkan dengan hak imunitas advokat maka
dapat diartikan sebagai hak atas kekebalan yang dimiliki oleh advokat dalam
melakukan profesinya dalam rangka membela kepentingan kliennya. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang pada pokoknya menjelaskan
bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan
Klien.
Dengan
demikian yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk
melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam
menjalankan tugas profesinya, sehingga dia tidak dapat di Hukoem sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas
profesinya.
Hak
kekebalan (immuniteit) untuk tidak dapat dituntun baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan
pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai
penegak Hukoem , peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang dijamin
oleh Hukoem dan peraturan
perundang-undangan.
Artinya,
eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan jasa Hukoem ,
tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi sudah menjadi
salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan
setara dengan penegak Hukoem lainnya
dalam menegakkan Hukoem dan keadilan,
bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau perlakuan yang
merendahkan harkat martabat profesinya.
Dalam
menjalankan profesinya, hak imunitas juga telah dijamin oleh Undang-undang,
yaitu dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Advokat, yang secara
tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam Sidang
Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam hal ini adalah tanpa adanya tekanan,
ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan
harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu pula Advokat bebas dalam menjalankan
tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan
tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan peraturan perundang-undangan.
Oleh
karena itu seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun
Pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad baik
untuk kepentingan pembelaan Kliennya. Maksud Itikad baik disini adalah
menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan Hukoem untuk membela kepentingan Kliennya dalam
setiap tingkat peradilan di semua lingkungan peradilan. Selain itu berdasarkan
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Advokat, bahwa Advokat tidak dapat diidentikkan
dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang atau oleh
masyarakat.
Advokat
sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan
dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada
hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara
sehingga advokat diharapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau
kepentingan publik.
Dalam
kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian
itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya
bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak
asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik.Akibat dari adanya
tanggung jawab moral yang melekat pada pada status profesinya maka advokat
memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu dimensi kemanusiaan, dimensi
pertanggungjawaban sosial, dimensi kebebasan, dimensi pembangunan negara Hukoem
dan dimensi pembangunan demokrasi.
2. Pengertian Advokat dan Etika Profesi Advokat Indonesia
a. Pengertian Advokat
Akar kata advokat, apabila didasarkan
pada kamus latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu advocatus,
yang berarti orang yang membantu seseorang dalam perkara, saksi yang
meringankan. Sedangkan, menurut Black’s
Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare suatu
kata kerja berarti to
defend,to call one’s aid, to vouch to warrant. Kata tersebut berarti:
“one
who assits, defends, or pleads for another.one who renders legal advice and aid
and pleads the cause of another before a court or a tribunal. A person learned
in the law and duly admitted to practice, who assits his client with advice,
and pleads for him in open court. An assistant, advicer, plead for causes.”
Artinya
seorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain. Seseorang yang
memberikan nasihat dan bantuan Hukoem dan berbicara untuk orang lain di hadapan
pengadilan. Seseorang yang mempelajari Hukoem dan telah diakui untuk berpraktek, yang
memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutan dihadapan
pengadilan. Seseorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.
Sedangkan menurut Assosiasi Advokat
Indonesia (“AAI”), pada Bab I, pasal 1(1) Anggaran Dasar AAI yang berbunyi:
“Advokat adalah termasuk
penasehat Hukoem , pengacara, pengacara praktek, dan para konsultan
Hukoem ”.
Tapi jika kita coba menganalisis
pragraf berikutnya, yaitu ayat 2 pragraf kedua yang berbunyi:
“Profesi
advokat, penasehat Hukoem , pengacara, pengacara praktek adalah profesi
yang dijalankan para sarjana Hukoem lulusan Universitas negeri atau yang
dipersamakan, bukan pegawai negeri / Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. atau oleh Ketua
Pengadilan Tinggi setempat yang menjalankan praktek profesinya diluar dan
dimuka pengadilan.”
Dalam
kamus Hukoem , pengertian advokat diartikan sebagai pembela, seorang (ahli Hukoem
) yang pekerjaannya mengajukan dan membela perkara di dalam atau di luar sidang
pengadilan. Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia pasal 1 ayat 1 menerangkan
bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa Hukoem , baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang
ini.
Pengertian
advokat secara istilah, adalah seorang yang melaksanakan kegiatan advokasi
yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan seseorang atau kelompok orang
untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak, maupun kewajiban klien
seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.
Menurut
undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat, dalam pasal 1 angka (1)
dikatakan:
“advokat
adalah orang yang berprofesi memberikan jasa Hukoem baik di dalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”
Berdasarkan
uraian diatas, pengertian advokat memberikan penekanan pada pekerjaan yang
berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam undang-undang No.8/2003, sudah
ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun diluar pengadilan. Sehingga cakupan advokat meliputi mereka yang
melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun diluar pengadilan, sebagaimana
diatur undang-undang advokat. Pendapat Purnadi purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, dari sudut ilmu Hukoem , cakupan advokat tersebut sebagai politik Hukoem
(legal policy). Poitik Hukoem yang dimaksud disini adalah mencari kegiatan
untuk memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai-nilai.
Pengertian-pengertian
yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara
cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi
penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi (profession)
advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan (job/occupation). Menurut
Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah:
1. Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis;
2. Penyediaan latihan dan pendidikan;
3. Pengujian kemampuan anggota;
4. Organisasi;
5. Kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan
6. Jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.
Advokat
adalah penegak Hukoem yang memiliki
kedudukan setara dengan penegak Hukoem lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun
demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak Hukoem , peran dan fungsi para
penegak Hukoem ini berbeda satu sama
lain. Nilai-nilai (value) di atas merupakan pencerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disini adalah
pembentukan undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang
mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara seHukoem yang dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara
dan konsultan Hukoem ) kiranya dapat bersatu dan dihimpun dalam wadah
(organisasi) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan menjadi
profesional yang disegani pada masa mendatang.
Mengikuti
konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai
penegak Hukoem menjalankan kekuasaan
yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh
gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili
kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup
kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai
penegak Hukoem menjalankan peran dan
fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan
tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
b. Pengertian Etika Profesi Advokat
Pengertian
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang
berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin yaitu”Mos” Dan dalam
bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatn yang baik (kesusilaan) dan menghindari dari
hal-hal tindakan yang buruk.
Etika
adalah suatu nilai-nilai positif yang menuntun perilaku atau tindak tanduk
manusia. Etika dapat diciptakan dan diberlakukan menurut luas dan sempitnya.
Etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti luas adalah etika yang
nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Sedangkan etika yang
diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit adalah etika yang ditujukan untuk
suatu golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Dengan demikian etika
yang diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit inilah yang disebut dengan
etika profesi.
Menurut
William Lilie, dalam bukunya An Intoduction to Ethics, Barnes
Noble, 1957, New York, USA yaitu “The normative science of conduct of human
beings living in societis is a science which judge this conduct
tobe right or wrong, tobe good or bad, or in some similiar way. This definition
says, first of all, that ethics is a science may be defined as a systematic and
more or less complete body of knomledge about a particular set of related event
or object”.
Pengertian dan defenisi etika
daripada filsuf atau ahli tersebut di atas, yaitu
saling berbeda dalam pokok
perhatiannya; antara lain:
a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang
kebaikan dan sifat dari hak.
b. Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan
bagian utama dari kegiatan manusia.
c. Ilmu watak yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai
individual.
d. Merupakan ilmu suatu kewajiban.
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian/
keterampilan tertentu. Suatu profesi tidak akan mempunyai citra, wibawa, serta
harkat dan martabat jika tidak diletakkan dengan nillai-nilai etika. Etika
profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang
pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu.
Mengenai
pengaturannya hanya ada satu kode etik profesi advokat yang
diberlakukan untuk seluruh advokat. Dalam pasal 33 Undang-undang No.18 Tahun
2003 diatur kode etik advokat sebagai berikut:
“kode
etik dan ketentuan dewan kehormatan profesi advokat yang telah ditetapkan oleh
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia(AAI), Ikatan
Penasehat Hukoem Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia
(SPI), Asosiasi Konsultan Hukoem Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan
PasarModal (HKPM), pada tanggal 25 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan Hukoem
secara mutatis mutandis menurut Undanng
–Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat advokat.”
Selain
itu, pengaturan dalam pasal tersebut tampak sejalan dengan pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Advokat yang menginginkan agar hanya ada suatu organisasi
advokat. Oleh karena itu apabila seorang advokat telah dinyatakan bersalah,
lalu dia melakukan banding diluar organisasi diluar Peradi, tindakan tersebut
dapat dikatakan sebagai perbuatan Hukoem yang tidak memahami Undang-undang Advokat.
Jika
ingin mempertajam pembahasan tentang etika profesi khususnya etika profesi
advokat maka kita akan menjumpai defenisinya menurut Mohamad Sanusi, yaitu:
“Kode
etik profesi advokat adalah ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku
dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang advokat dalam
menjalankan kegiatan profesinya, baik sewaktu berbicara di muka pengadilan
maupun diluar pengadilan”.
Dari defenisi diatas, maka fungsi
dari kode etika profesi advokat dapat dikelompokkan :
1. Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.
2. Kode etik dalam hubungan advokat dengan klien.
3. Kode etik dalam hubungan dengan sejawat.
4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara.
5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap Hukoem atau undang-undang kekuasaan umum, dan para
pejabat pegadilan.
Khusus pengembangan profesi advokat, sang advokat harus selalu
berpegang teguh kepada usaha untuk merealisasikan keterlibatan dan kepastian Hukoem
yang berkeadilan. Khusus bahan renungan
bagi para advokat, yang dikutipkan dari tulisan Samuel S.Leibowitz, Quentin
Reynolds ( seorang advokat yang kemudian menjadi hakim ) dalam kata pengantar
bukunya Court Romm sebagai berikut: dalam cerita sandiwara
ini, Kingsley menciptakan tokoh Endicott Sims, seorang advokat yang mengkhususkan
diri dalam bidang-bidang perkara pidana. Seorang detektif yang sadis ( Letnan
Kames McLeod ) yang telah menganiaya seorang tersangka yang menjadi klien Sims.
Tersangka yang dianiaya itu hampir mati. Sims mengatakan kepada detektif itu
bahwa dia beruntung karena ia tidak menghadapi tuduhan pembunuhan berat.
McLeod :
Saya selalu dapat meminta anda untuk membela saya.
Sims :
Dan saya mungkin akan melakukannya. Itu adalah pekerjaan saya.
McLeod :
Selama anda memperoleh hononarium anda?
Sims :
Saya telah sering membela orang atas biaya saya sendiri. Setiap
orang memiliki hak untuk didampingi advokat (memperoleh
bantuan Hukoem ), betapapun ia
tampak bersalah bagi anda atau bagi
saya. Setiap orang berhak untuk
tidak dihakimi secara sewenang-
wenang, khususnya oleh orang-orang
yang memiliki wewenang;
tidak oleh anda, tidak oleh kongres,
bahkan tidak oleh presiden
Amerika Serikat.
McLeod :
Ia bersalah! Anda pun mengetahui sama seperti saya.
Sims : Saya tidak mengetahui hal itu, saya bahkan tidak akan
mengijinkan saya sendiri berspekulasi tentang ketidak
bersalahannya atau kebersalahannya.
Pada saat saya melakukan hai
itu saya melakukan tindakan
menghakimi, dan bukan tugas saya untuk menghakimi. Tugas saya adalah untuk
membela klien saya, bukan untuk menghakiminya. Hal itu tugas dari pengadilan.
Dari
sinopsis Detective story tersebut, terlihat bahwa advokat Smis memiliki
komitmen yang kokoh terhadap etika profesi, sebab dia tidak mau berspekulasi
tentang ketidak bersalahan dan kebersalahan seseorang (menghakimi) kalaupun si
terdakwa tersebut nyata bersalah. Sikap seperti ini tentunya adalah merupakan
gambaran seorang penasehat Hukoem yang
memiliki sikap etis dalam mengemban profesinya secara bermartabat.
Oleh karena itu demi menjunjung
kebenaran, keadilan, dan hati nurani penasehat Hukoem dapat menjaga citra, wibawa, harkat serta
martabat dalam menjalankan profesinya.
3. Kebijakan Hukoem Pidana
a. Kebijakan Penal
Istilah
“kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan
Hukoem pidana biasa disebut juga politik
Hukoem pidana. Berbicara mengenai
politik Hukoem pidana, maka tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai politik Hukoem secara keseluruhan karena Hukoem pidana adalah salah satu bagian dari ilmu Hukoem
. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik Hukoem .
Marc
Ancel pernah menyatakan, bahwa “penal Policy” adalah suatu ilmu
ekaligus
seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan Hukoem positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang
dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan. Selanjutny dinyatakan olehnya:
“diantara
studi mengenai faktor-faktor kriminologis, di satu pihak dan studi
mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu
seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan
sarjana Hukoem dapat bekerja sama tidak
sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai
kawan sekerjaya yang terikat dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat”.
Dengan
kata pengantar diatas, ingin ditegaskan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan
Hukoem pidana bukanlah
semata-mata pekerjaan teknik
perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif, kebijakan
Hukoem pidana juga memerlukan pendekatan
yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif,
bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai
disiplin sosisal lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya.
Selanjutnya Marc Ancel, Penal Policy
(Politik Hukoem Pidana) adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk Memungkinkan
peraturan Hukoem positif dirumuskan
secara baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan.
Ada
suatu pertanyaan yang krusial yang dapat muncul yaitu, mungkinkah pemidanaan
dapat dijadikan sebagai instrumen pencegahan kejahatan? Persoalan ini muncul
karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya
kejahatan, tetapi jutru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi.
Upaya
mencari jawaban atas persoalan diatas, maka pembahasan harus diarahkan untuk
mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan
philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya
kebijakan Hukoem pidana diarahkan. Tanpa
itu semua, maka substansi Hukoem pidana
dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai philosopis dan akan
menjadi Hukoem pidana yang kering serta
tidak menyentuh nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
Usaha
menemukan alas philosopis tujuan Hukoem pidana ini, maka akan membawa kita pada
pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari
sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan Hukoem pidana saat ini. Pembabakan pada tujuan
pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence,
gabungan, treatment, social defence.
A. Teori Retributif
Menurut
teori ini, dasar Hukoem an harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya
(vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.
Para pakar penganut teori ini,
antara lain:
a. Immanuel Kant
Immanuel Kant selaku ahli filsafat
berpendapat bahwa dasar Hukoem pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu
sendiri , yang telah menimbulkan pederitaan pada orang lain, sedang Hukoem an
merupakan tuntutan yang mutlak dari Hukoem kesusilaan. Disini Hukoem itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
b. Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa Hukoem
adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh
karena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap Hukoem dan hak. Hukoem an dipandang dari sisi imbalan
sehingga Hukoem an merupakan dialectische vrgelding.
Teori
retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan
merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena
pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.
Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk mengHukoem sebagai respon terhadap pembenaran suatu
kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma
moral teretntu yang mendasari aturan Hukoem yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan
hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan Hukoem sipelaku.
Ciri khas teori retributif ini
terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah
keyakinan mutlak akan keniscahayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak
berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan
kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.
Kant
melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang
merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan
kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku
kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.
B. Teori Detterence
Tujuan yang kedua dari pemidanaan
adalah “deterrence”. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada
penerapan Hukoem an pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut
membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan
kejahatan. Hukoem an dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan
dari Hukoem itu, yakni memperbaiki
ketidak puasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu.
Selain itu tujuan Hukoem an adalah
untuk mencegah (prevensi) kejahatan.
Nigel Walker menamakan aliran ini
sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran
dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan (... the justification for penalazing offences is
that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini
bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau
beberapa cara berikut ini:
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the
offender), yaitu
membujuk sipelaku untuk menahan diri atau
tidak melakukan pelanggaran
Hukoem kembali melalui ingatan mereka
terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring
potential imitators) dalam hal ini memnerikan rasa takut
orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat
contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa
takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.
3. Perbaikan sipelaku (reforming the offender), yaitu
memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran sipelaku untuk
cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan
dari ancaman pidana.
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan
terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat
mengurangi frekuensi kejahatan;
5. Melindungi masyarakat (protecting the public),
melalui pidana penjara yang cukup lama.
C. Teori Gabungan (Teleoligical retributivist)
Menurut
teori teleological retributivist, tujuan pemidanaan adalah bersifat
plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis. Teori teological retributivist ini
dikenal dengan teori gabungan, teori gabungan ini lahir karena adanya
kelemahan yang terdapat baik pada teori absolut maupun teori relatif.
Vos dalam Bambang Poernomo menyebutkan, bahwa dalam teori gabungan
terdapat tiga aliran, yaitu:
1. Teori gabungan yang menitik beratkan pembalasan tetapi
dengan maksud sifat pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum. Grotius di
dalam Andi Hamza disebutkan telah mengembangkan teori gabungan yang menitik
beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi
masyarakat.
2. Teori gabungan yang menitik beratkan kepada perlindungan
ketertiban masyarakat. Teori ini dianut oleh Simons yang mempergunakan jalan
pikiran, bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara
prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan
membinasakan, serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus diseseuaikan
dengan kesadaran Hukoem anggota
masyarakat.
3. Teori gabungan yang menitik beratkan sama antara pembalasan
dan perlindungan kepentingan masyarakat, penganutnya adalah De Pinto. Vos juga
menerangkan, karena pada umumya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka Hukoem
pidana harus disusun sedemikian rupa.
D. Teori Treatment
Treatmen
sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat
bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud oleh aliran ini adalah
untuk memberi tindakan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan
sebagai pengganti dari pengHukoem an.
Argumen
alasan ini dilandasi pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit
sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan perbaikan.
Dalam kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap
sebagai Simptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang
membutuhkan terapi psikiatris, conseling, latihan-latihan spritual dan
sebagainya. Lagi pula karena pemidanaan lebih dipandang sebagai proses terapai
atas penyakit yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan dalam
proses detterence. Dalam pandangan detterence pelaku adalah orang yang bersalah
yang harus dijerakan supaya tidak mngulangi lagi tindak pidananya, sementara
rehabilitasi memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang
perlu ditolong.
Hart
berpendapat bahwa seseorang dapat dapat dikenakan pemidanaan jika seseorang
tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral bersalah. Pemidanaan yang
dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari perbuatan tersebut.
Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa pembalasan penderitaan
kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela, yang pada dasarnya
pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.
Herbert
L.Packer tidak seperti Hart yang mengusulkan pentingnya kembali paham
retributif dalam hal pemidanaan, Packer lebih cenderung untuk kembali mengkaji
aliran klasik dengan tujuan detterence karena menurutnya lebuh
berguna sebagai starting pointi untuk mengkaji secara
kejahatan dan pemidanaan secara rasional serta lebih integral.
E. Teori Sosial Defence (perlindungan sosial)
Social
Defence adalah aliran pemidanaan yang
berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo
Gramatica. Pandangan social defence ini terpecah menjadi dua
aliran, aliran yang rdikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).
Pandangan
yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatdica, yang berpendapat
bahwa: Hukoem perlindungan sosial harus
menggantikan Hukoem pidana yang ada
sekarang. Tujuan utama dari Hukoem perlidungan sosial adalah mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Pandangan Moderat dipertahankan oleh
Marc Ancle yang menamakan alirannya sebgai defence social nouvelle. Menurut
Marc Ancle tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan bagi suatu sistem Hukoem .
Velinka
dan Ute menyatakan bahwa resosialisasi adalah proses yang mengakomodasikan dan
memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan
sosial yang dmaksud pada dasarnya adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam dekade 30 tahun terakhir, teori telah mengusung pelaku
masuk dalam bentuk pemidanaan yang manusiawi dan lebih menghargai hak asasi
manusia, teori ini banyak memperoleh kritik karena teori ini hanya dapat
dipakai dan jelas terlihat sebagai sarana diakhir masa Hukoem an untuk
mempersiapkan diri memasuki masa kebebasan.
b. Kebijakan Non Penal
Kebijakan
penanggulangan kejahatan atau biasa dikenal dengan istilah “politik Kriminal”
dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P. Hoefnagels upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan Hukoem pidana (criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment/ mass media).
Kongres
PBB ke-6 tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam
pertimbangan resolusinya mengenai crime Trends and Crime Prevention
Strategis, antara lain:
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan
3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejatahatan
diberbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi
rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah,
pengangguran
dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk. Berdasarkan pertimbangan
diatas, dihimbau kepada semua kongres ke-6 PBB untuk mengambil tindakan dalam
kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan
martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah
pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, deskriminasi rasial dan nasional serta
berbagai macam bentuk ketimpangan sosial.
Kondisi sosial yang diterangi
sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas
adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan
penal semata. Oleh karena itulah pemecahan masalah diatas harus didukung oleh
pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan
berbasiskan masyarakat.
Pendekatan
non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa
menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu
antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community
plaining mental healthy), social worker and child welfare (kesejahteraan
anak dan pekerjaan sosial), serta penggunaan Hukoem civil dan Hukoem administrasi.
Upaya penanggulangan non-penal dapat
dilakukan dengan cara:
1. Upaya yang bersifat preventif
Upaya
preventif adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan jauh sebelum
terjadinya kejahatan itu. Karena mencegah kejahatan jauh lebih baik daripada
mendidik. Usaha melenyapkan seluruh kejahatan agaknya tidak mungkin dilakukan,
namun bukan berarti kita mendiamkan kejahatan itu terjadi, kita dituntut untuk
berupaya mengurangi kejahatan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Uapaya
preventif dalam arti luas adalah pencegahan yang mungkin timbul jauh sebelum
kejahatan itu terjadi.
2. Upaya bersifat Represif
Upaya represif merupakan tindakan
yang dilakukan dalam menanggulangi kejahatan. Uapaya ini diambil sesudah atau
pada saat terjadinya kejahatan . usaha ini dilakukan dengan tujuan agar
kejahatan tidak terulang lagi atau paling tidak dapat memperkecil angka
kejahatan tersebut. Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral
dapat dilakukan dengan mengadakan Hukoem an bagi setiap perbuatan
pelanggarannya. Kejahatan akan selalu ada selama manusia itu ada. Akan tetapi
walaupun demikian kita harus berusaha untuk mencegah tindak pidana tersebut dan
menanggulanginya.
Bahkan
untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi-umum dan prevensi-khusus
saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak
diketahui seberapa jauh pengaruhnya. Serentetan pendapat dan hasil penelitian
berikut ini kiranya mendapat perhatian:
a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya,
apakah dimaksudkan untuk mengHukoem atau
untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah
kejahatan.
b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu
negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam Hukoem nya atau
kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi
berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural
yang besar dalam kehidupan masyarakat.
c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya Hukoem pidana selamanya harus dilihat dari
keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara Hukoem dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap
dan tindakan-tindakan kita.
d. Wolf Middendorft menyatakan, bahwa sangat sulit lah untuk
melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari “general detterence” karena
mekanisme pencegahan itu tidak diketahui.
e. Donald R. Taft dan Ralph W.England menyatakan, bahwa
efektifitas Hukoem pidana tidak dapat
diukur secara akurat. Hukoem hanya
merupakan salah satu sarana kontrol sosial.
f. R. Hood dan R. Sparks menytakan, beberapa aspek lain dari
“general prevention”,
seperti “reinforcing social value”, “strenghening the common
conscience”, “alleviating fear” dan “providing a sense of communal
security” sulit untuk diteliti.
Dari
beberapa pendapat dan hasil penelitian diatas, cukup beralasan kiranya untuk
terus menerus menggali, memanfatkan dan mengembangkan upaya-upaya non penal
untuk mengimbangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki kewajiban
untuk memberikan bantuan Hukoem untuk
kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan Hukoem merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat,
oleh sebab itu Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber
daya yang dimilikinya untuk membantu orang miskin yang membutuhkan bantuan Hukoem
secara Cuma-Cuma atau probono.
Pemberian bantuan Hukoem oleh Advokat
tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban saja namun harus dipandang pula
sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social
kontribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi
sosial dari profesi advokat, undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat
telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban suatu advokat untuk memberikan
bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma sebagai
bagai dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban
profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan
kewajiban pemberian bantuan Hukoem secara Cuma-Cuma oleh advokat maka dibutuhkan
peran yang optimal dari organisasi profesi.
DAFTAR PUTAKA
Daud Rianto
Purba, Perilaku Seks Bebas Pada Anak Jalanan dalam Perspektif Kriminologi, (Medan:
USU, 2012).
Leden
Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukoem Pidana, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005),
Mahmud
Mulyadi, Crimal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008),
Suhrawardi
K.Lubis, Etika Profesi Hukoem , (Medan: Sinar grafika, 1993)
Rosady
Ruslan, Etika kehumasan “Konsep dan Aplikasi”, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar