BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah
satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya
sebagai sarana untuk mencari penghidupan yaitu sebagai pendukung mata
pencaharian di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim
dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang
mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut
UUPA, merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Adapun pengejawantahan
lebih lanjut mengenai Hukoem tanah,
banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti
Peraturan Pemeriintah Nomor 40 Tahun
1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup
agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah
yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu:
“Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan Hukoem .”
Hak yang dapat diberikan
kepada warga negara, namun ada masalah selanjutnya, yakni warga negara yang
mendiami Indonesia bukan hanya warga negara Indonesia saja, tetapi ada juga
warga negara asing. Masalahnya adalah bagaimanakah pengaturan secara yuridis
mengenai pemberian hak kepada selain warga negara Indonesia. Berdasarkan latar
belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul “Hak Warga Negara
Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia”.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang
tersebut, kami akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Kami membatasi masalah
menjadi dua hal, yaitu:
1. Siapa saja yang boleh memiliki hak penguasaan
atas tanah?
2. Apakah Warga Negara Asing boleh memiliki hak
atas tanah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki
hak penguasaan atas tanah.
2. Untuk mengetahui apakah warga negara asing boleh
memiliki hak penguasaan atas tanah ataukah tidak.
D. Sistematika Penulisan
Berikut dijelaskan
sistematika yang dipakai oleh Kami dalam peyusunan makalah ini, yaitu: Bab
I berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan
dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi empat sub pembahasan, yaitu pertama
mengenai Subjek Hak Atas Tanah, kedua mengenai status warga negara asing di
Indonesia. Bab III berisi mengenai Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Subjek Hak Atas Tanah
Pada asasnya hak milik
hanya dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain. Badan Hukoem tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan Hukoem yang ditetapkan oleh Pemeriintah dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian
pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Sesuai dengan pasal 9
ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya warga negara Indonesia
saja yang dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
larangan itu tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan
keturunan asing. Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan
perbedaan antara sesama warga negara dalam hal pemilikan tanah diadakan
perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.
Berkewarganeragaan
rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai pula
kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama seseorang
disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak
dapat mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam
hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.
Di dalam penjelasan
pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan
diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan lain dalam
hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan
demikian, maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga
negara Indonesia tunggal saja.
Kalau orang tuanya telah
melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap berkewarganegaraan
Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara
pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat
kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusus untuk pemilikan tanah pertanian masih
diperlukan syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan
mengenai maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai
seseorang (Pasal 1 jo. pasal 6 UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960) mengenai
pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar (Pasal 9
ayat 2 dan 33 UUPA).
UU Nomor 56 (Perpu)
1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee atau
guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964). Kalau
syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum
bagi perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut
wajib dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh
peraturan-peraturan Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus
untuk pemilikan tanah pertanian. Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa
pemiliknya harus seorang petani.
B. Status Warga Negara Asing di Indonesia
Berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional Tentang Persyaratan
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing, pada pasal 1.
“Orang asing yang
kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional dapat
memiliki sebuah rumah tempat tinggal atau hunian dalam bentuk rumah dengan hak
atas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak
pakai atas tanah negara.” (Pasal 1 ayat 1)
“Orang asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang memiliki dan memelihara
kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki
rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.” (Pasal 1 ayat 2)
C. Hak Penguasaan Atas Tanah Warga Negara Asing
Penguasaan tanah oleh
orang asing dan badan Hukoem asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih
lanjut diatur dalam Peraturan Pemeriintah (PP) nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia.
Meskipun pada asasnya
hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki
tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih
memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang
berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya
kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA
menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960
kehilangan kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun
tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Bagaimanakah
ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia
yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat,
S.H.), pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan
pasal 21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang
disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan
sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak
yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara
lain tidak diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli,
tukar menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik
dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan
warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu
tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya?
Dikatakan dalam ayat
tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan.
Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan
tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali
tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing
hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB,
atau hak pakai.
Menurut PP Nomor 41
Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing: “Warga
negara asing dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan”.
Sebelum PP Nomor 41
Tahun 1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP Nomor 41 Tahun 1996.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Subjek
Hukoem yang memiliki hak pengelolaan,
khususnya yaitu hak milik adalah warga negara Indonesia, badan Hukoem nasional yang diberi kewenangan oleh
undang-undang. Adapun warga negara asing dan badan Hukoem asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia juga mendapatkan hak penguasaan tanah yang diatur dalam Pasal 41 dan
42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemeriintah Nomor 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah jo. PP nomor 41 tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan
di Indonesia. Pasal 21 ayat 3 UUPA juga menentukan, bahwa orang asing yang
sesudah tanggal 24 september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan juga mendapatkan hak milik yang
bersifat sementara yang setelahnya harus diserahkan kembali pada negara.
Cara-cara yang disebutkan seperti diatas adalah cara memperoleh hak tanpa
melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya
peralihan hak yang bersangkutan.
B. Saran
Bertitik tolak dari
kesimpulan pembahasan makalah ini, maka kami menyarankan beberapa hal, yaitu
dengan kondisi globalisasi yang sedang terjadi saat ini, maka seharusnya Pemeriintah
membuat aturan yang bisa mempermudah
orang asing untuk tinggal supaya nantinya bisa berinvestasi dengan mudah dan
tidak terganggu dengan aturan yang mempersulit. Adapun pelanggaran-pelanggaran
atas aturan misalnya dengan pencaloan hak atas penguasaan tanah yang dilakukan
antara warga negara Indonesia dan warga negara asing harus ditindak dengan
tegas dan juga Pemeriintah membuat
aturan preventif supaya persekongkolan antara warga negara Indonesia dan warga
negara asing tidak terjadi. Kemudian, Pemeriintah juga diharapkan memperbaharui kembali aturan
yuridis mengenai Hukoem agrarian di
Indonesia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku:
Harsono, Boedi. 2004. Hukoem Agraria Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai
Orde Reformasi. Bandung: Alumni.
Soebekti. 2004. Kitab Undang-undang Hukoem Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Perundang-undangan:
UUD 1945 Republik Indonesia
UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai Atas Tanah
PP Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian
oleh Orang Asing
Sumber Internet:
http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2012/06/kepemilikan-warga-negara-asing-terhadap.html,
diakses pada tanggal 14 desember 2012, pukul 11:00.
http://gambiri67.wordpress.com/2009/03/16/hak-atas-tanah-bagi-orang-asing,
diakses pada tanggal 14 desember 2012, pukul 11:15.